Surat untuk Tuan Sunil Soraya Extended Version

Surat untuk Tuan Sunil Soraya Extended Version

- detikHot
Senin, 15 Sep 2014 12:08 WIB
Jakarta - Kepada Tuan Sunil Soraya,

Gemetar, Tuan! Gemetar tangan saya ketika menulis surat dahulu kepadamu tentang film Tuan; 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' yang sudah hampir setahun lalu Tuan pertontonkan. Kini, karena amat masyurnya film Tuan itu, Tuan beranikan diri untuk kembali mempertontonkannya kepada khalayak. Dalam edisi baru kali ini ada bonus tambahan adegan-adegan yang sebelumnya tidak Tuan tunjukkan di film Tuan yang terdahulu.

Pada surat saya yang pertama telah saya sampaikan kekaguman saya akan karya Tuan itu, akan pelakon-pelakon di film Tuan yang hebat-hebat betul, dan saya sampaikan pula bahwa Tuan pandai merangkai kisah yang asalnya ditulis oleh Tuan HAMKA itu menjadi gubahan yang bahkan jauh lebih bagus daripada moyangnya sendiri. Saya tak bermaksud melecehkan Tuan HAMKA; saya paham betul karya-karya tulisnya, dan saya teramat mengagumi beliau. Hanya saja, saya hakul-yakin bahwa barang siapa pun yang telah membaca roman 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' lantas menyaksikan film Tuan ini, mereka bakal berkata laksana apa yang telah Tuan perbuat setidak-tidaknya sama eloknya dengan yang diperbuat oleh Tuan Hamka. Tetapi, buat saya sendiri, seperti yang telah saya sampaikan tadi, gubahan karya Tuan ini bahkan jauh lebih elok. Mungkin Tuan bertanya-tanya, mengapa sedemikian menggebunya pujian saya ini?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal inilah yang tak sempat saya utarakan kepada Tuan tempo hari, dan sekarang berbarengan dengan diedarkan ulangnya film Tuan, ini tak ubahnya bak adegan-adegan tambahan di film Tuan, inilah apreasiasi tambahan dari saya, dan semoga Tuan dan sesiapa pun sudi kiranya untuk membacanya. Setelah menyaksikan kembali film Tuan, hati ini memaksa untuk menulis kembali, banyak yang saya rasakan, dan sekiranya ada hal-hal yang perlu saya utarakan daripadanya.

'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' bukanlah karya sastra Tuan HAMKA yang pertama kali difilmkan. Kita barangkali masih ingat bahwa karya yang lainnya yaitu 'Di Bawah Lindungan Kabah' pernah lebih dulu diangkat ke layar lebar oleh sutradara Tuan Hanny R. Saputra. Maafkan kelancangan saya untuk berujar bahwa film 'Di Bawah Lindungan Kabah' itu sungguh tak elok rupanya, membuat malu saja. Selain karya tulis dari Tuan HAMKA, telah banyak juga karya-karya penulis lain yang disulihgambarkan ke dalam film seperti novel 'Laskar Pelangi' karya Andrea Hirata, 'Perahu Kertas' karya Dee Lestari, 'Test Pack' karya Ninit Yunita, '5 CM' karya Donny Dhirgantoro, dan masih banyak yang lainnya. Memfilmkan karya tulis entah itu dari cerita pendek maupun dari novel telah terbukti sahih disukai oleh penonton, di negeri ini barangkali belum terbukti betul. Namun, setidak-tidaknya hal ini kerap berhasil dilakukan di Amerika sana. Bahkan banyak sekali film-film pemenang Piala Oscar dasarnya adaptasi dari prosa, bukan satu-dua film, melainkan banyak sekali jumlahnya. Tuan sebagai orang yang telah lama berkecimpung di dunia film pasti sudah paham betul akan kuasa ini. Bisa jadi Tuan pada mulanya --seperti kebanyakan para pembuat film di negeri ini-- bertaruh banyak saat memproduksi 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck'. Tuan barangkali tak yakin betul apakah film yang Tuan buat bakal laku atau tidak. Namun, satu hal yang pasti, Tuan tak asal saja membuat film ini, melainkan sungguh-sungguh sepenuh hati menjadikannya tontonan yang bermartabat.

Perlu Tuan ketahui, pada hari yang sama film Tuan ini kembali ditayangkan, ada dua film Indonesia lainnya yang tayang perdana. Dua film baru yang bila boleh saya ibaratkan, bak tayangan sinetron 'Ganteng Ganteng Serigala' -- tontonan idola senusantara itu. Sedangkan film Tuan ini macam 'An American Werewolf in London' saja. Bukan lantaran film Tuan lebih mahal atau lebih mentereng, tapi semata-mata karena film Tuan ditangani dengan jauh lebih baik; film Tuan jauh lebih sinematis, dan ini pula faktor yang tak dimiliki oleh kedua film yang saya singgung tadi. Maka dari itu walaupun film Tuan ini bukanlah film baru, saya lebih senang untuk mengulangi menontonnya kembali dibandingkan dengan menonton dua film Indonesia yang baru itu, yang mana sungguh telah memberi saya pengalaman menonton yang menjemukan setengah mati.

Sudah hampir dua tahun saya menulis ulasan film di situs berita ini, namun saya telah dibuaikan di dalam bioskop bahkan semenjak saya belum bisa berbicara dengan lancar. Ibu saya dulu sering menggendong saya, membawa saya masuk ke ruang gelap. Didudukkannya saya di sampingnya dan lantas kami bersama-sama menonton film-film yang kini bila saya ingat-ingat kembali tak tahu pula film apa yang saya saksikan dahulu itu. Semenjak itu pula saya jatuh cinta dengan film, dan menginjak dewasa saya beranikan diri untuk menulis ulasan dari film-film yang telah saya tonton agar dibaca oleh khalayak. Barang tentu segala jenis film saya lahap dengan rakus untuk kemudian saya ulas semata demi mengasah nalar, panca indera, dan hati saya sahaja. Dalam memperhatikan perkembangan film Indonsesia dewasa ini, kita layaklah jumawa bahwa rasa-rasanya makin banyak saja film bangsa kita diproduksi. Tiap minggu setidaknya ada dua-tiga film Indonesia baru yang diedarkan. Namun, memang, untuk kualitas belum sejalan dengan kuantitasnya. Masih lebih banyak film buruk ketimbang film yang bagus. Setiap minggu film Indonesia yang bagus itu saya cari tak ubahnya seorang musafir di tengah gurun yang luas putus asa mencari air; tiap-tiap langkah diayun tampak juga olehnya danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu pun hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, hening dan panas! Tuan, berulang saya menanggung perasaan begini.

Pernah suatu hari saya mengulas sebuah film Indonesia yang teramat jeleknya, saya umbar aib dan segala cela film itu hingga membuat marah si pemilik film. Malahan, saya pun dikirimi sepucuk surat dari seorang pemerhati perfilman yang paling masyur di negeri ini. Saya dinasihati agar menjaga mulut saya dan memelihara setiap perkataan agar santun. Ini negeri beradat, katanya. Ia mungkin lupa bahwa di negeri beradat ini banyak pula orang-orang tak beradab yang tak memahami betul kesenian namun melacurkan diri untuk jadi seniman, membuat musik yang dapat mencongekkan telinga, membuat film yang dapat menjadikan penontonnya geleng-geleng kepala. Terhadap kesenian semacam inilah saya tak dapat menjaga ucap agar jadi orang 'beradat', menjunjung kesopanan setinggi langit. Tuan, berulang saya menanggung perasaan begini, tetapi bilamana saya hening saya pikirkan, emas tidak juga dapat dicampurkan dengan loyang, sutera tersisih dari benang. Saya mengerti bahasa film yang beradat dan yang tidak dari isyarat, susun gambar, susun kata, dapat saya ketahui derajatnya film-film yang saya saksikan itu.

Mengapa hal ini saya adukan kepadamu, Tuan? Itu pun saya sendiri tak tahu, tapi terimalah pengaduanku ini. Terimalah ini, perkenankanlah seruan dari hati yang daif, hati seorang penikmat film yang dari masa dalam kandungan ibu telah dibekali cita rasa kesenian. Bagaimana maka hati saya berkata begitu? Itu pun saya tak tahu pasti. Lantaran tak tahu sebabnya itu, agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pemandangan umum. Tapi, saya tahu dan insaf siapa saya. Saya kirimkan surat ini tidaklah minta dibalas, hanyalah semata-rata mengadukan hal untuk mengurangi tanggungan hati. Sebab memang sudah biasa kegembiraan dapat ditelan sendiri-sendiri dan kemalangan menjadi kurang, bila dikatakan pada orang lain. Tuan, saya minta jangan dikecewakan hati orang yang memuji karya senimu. Karena menurut perasaan hati saya, adalah yang demikian itu merupakan pintu keberuntungan dan kemahsyuran. Sampai sekarang, menonton untuk kesekian kali film yang Tuan buat ini masih kerap kali saya merasai dada saya seruliri, menjaga apakah hati saya masih tersimpan di dalamnya, entah sudah terbang ke langit biru agaknya, lantaran terlalu merasa gembira.

Oya, hampir terlupa. Saya belum bercerita bagian mana saja yang saya sukai dari tambahan-tambahan adegan yang Tuan masukkan ke dalam versi lebih panjang dari film Tuan ini. Pertama, saya suka adegan Zainuddin yang dipanggil menghadap mamaknya Hayati; rasanya film baru saja bergulir, namun tatkala Zainuddin diminta oleh mamaknya Hayati untuk melupakan kekasihnya itu dan agar angkat kaki dari desa, ia meratap, "Artinya engku merenggutkan jantung saya dari dada saya," berlinang air mata Zainuddin, dan saat itu pula dada saya ikut terenyuh. Kedua, adegan di pengujung film saat Zainuddin diam-diam melahap habis masakan Hayati yang sebelumnya ia tolak ketika ditawari. Sungguh saya dibuat terpingkal-pingkal karenanya. Adegan yang satu ini tak ada dalam novelnya sendiri, termasuk adegan Zainuddin potong rambut gaya pinang dibelah dua itu, selera humor Tuan rupanya boleh juga.

Tetapi Tuan, ada yang perlu saya terangkan padamu, supaya jangan engkau menyesal kemudian. Orang sukai seorang pembuat film, karena sesuatu yang diharapkannya dari pembuat film itu, misalnya dia berbakat, bercita rasa kesenian tinggi, dan cakap. Saya sendiri, sebagai yang Tuan lihat, begitulah keadaanku, hanya seorang penulis lepas yang suka lupa diri ketika memuji dan lupa adat ketika memaki film yang tak disukainya. Barangkali Tuan hilap di kemudian hari, barangkali Tuan di masa depan membuat film yang tak elok, ingat-ingatlah surat saya ini bahwasanya Tuan pernah pada satu masa membuat film yang mampu menggetarkan jiwa. Dan bila itu sampai terjadi, Tuan tahu harus berbuat apa. Pantang seorang guru bertindak bak parewa, pantang sutradara handal melacurkan diri membuat film sekedarnya.

Inilah surat saya yang kedua. Saya menulis kembali bahwasanya kalau perasaan ini hanya disimpan-simpan saja, tidak diutarakan dengan kejujuran, itulah yang bernama apresiasi palsu, apresiasi yang tidak percaya kepada diri sendiri. Rasanya lebih aib dan lebih cela anak perempuan yang sengaja menekur-nekurkan kepalanya jika melihat seorang laki-laki, tetapi setelah selendangnya dibuka, dia mengintip laki-laki lalu lalang dari celah dinding. Rasanya lebih cela dan tak berbudi bila saya telah menyaksikan karya seni yang menggetarkan jiwa ini namun berdiam diri setelahnya, tak berucap sepatah kata pun yang baik-baik dari mulut saya. Bacalah surat saya kedua-duanya. Adakah di sana terdapat saya berminyak air, mencoba menarik-narik hati? Hilangkanlah sangka buruk, ah, mentang-mentang saya seorang pengulas film kemarin sore, tidaklah serendah itu benar budiku.

Tuan, film Tuan ini, yang berkisah tentang roman dua sejoli antara Zainuddin dan Hayati yang dirundung kemalangan, saya berani katakan jauh lebih elok ketimbang kisah percintaan presiden pertama kita yang dibuat oleh Tuan Hanung Bramantyo. Jangan salah persepsi dulu. Ini mungkin terdengar tak etis, tapi sah untuk saya katakan, sebab dua film ini sama besarnya, diluncurkan pertama kali dalam masa yang tak berjauhan pula. Film 'Soekarno' pun amatlah baik, secara teknis ia dibuat dengan penuh kesungguhan. Bila 'Soekarno' bercerita soal propaganda berkebangsaan, propaganda diri, propaganda negara, politik, dan patriotisme, kisah Zainuddin dalam 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' adalah gagasan sejati dari adat berbangsa dan bernegara itu sendiri, tanpa propaganda secuil pun, tanpa orasi-orasi penuh amarah membakar emosi. 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' sudah lebih dulu mengangkat isu persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara jauh sebelum teks proklamasi dibacakan; isu persatuan yang hingga kini setelah berpuluh-puluh tahun merdeka pun masihlah sebatas slogan. Bila saja bangsa ini sudah melek aksara sedari dulu, dan bila saja kita gemar membaca karya kesusastraan bangsa sendiri dan memahami betul hakikatnya, saya percaya apa yang disampaikan Zainuddin kepada Bang Muluk soal akhir kisah hidupnya ini tak bakal jadi angan-angan semata, "...Dan, akan tercapai juga kemuliaan bangsaku, persatuan tanah airku. Hilang perasaan perbedaan dan kebencian dan tercapai keadilan dan bahagia."

Tertanda,

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads