Sembilan tahun kemudian banyak hal yang terjadi di Kota Basin. Marv (Mickey Rourke) sepertinya amnesia, memberikan prolog kepada penonton apa saja yang sudah terjadi. Kemudian dengan cepat, kita melihat tiga buah cerita di kota di mana moral hanya sebuah mitos tersebut. Ada Johnny (Joseph Gordon-Levitt, rookie dalam serial ini) yang menantang senator/penjahat kelas kakap, Roark (Powers Boothe). Melihat pancaran amarah dari mata Johnny, kita semua tahu bahwa ada motivasi lebih besar daripada mempermalukan Roark di antara koleganya.
Ada Nancy (Jessica Alba) yang mengalami survivors guilt setelah Hartigan (Bruce Willis), polisi baik yang menyelamatkannya, meninggal dunia. Nancy ingin membalas dendam. Bagaimana caranya? Kemudian yang terakhir ada Dwight (Josh Brolin, menggantikan Clive Owen yang di film pertamanya cukup magnetik) yang didatangi hantu dari masa lalunya. Ava (Eva Green, definisi dari hot as hell) dengan suara lemah dan cahaya mata yang sayu mengatakan bahwa Dwight harus menolongnya. Dwight tahu Ava buruk baginya, namun apakah ini yang akan terjadi kali ini?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
'Sin City 2' ini seperti film pertamanya juga dipenuhi dengan berbagai hal yang hanya ada di sebuah film dewasa. Ketelanjangan, adegan seks dan kekerasan muncul kasual di sana-sini tanpa malu-malu --yang mungkin membuat LSF kebingungan mau memotong yang mana.
Dari semua pemeran di film ini, Eva Green adalah sosok yang akan paling menghantui Anda sepanjang film berjalan. Lekuk tubuhnya sengaja diekspos habis-habisan oleh Miller dan Rodriguez. Dan, Green memang tidak ragu-ragu untuk mempertontonkan itu semua karena dia tahu, dia mempunyai akting yang cukupan untuk memerankan Ava, perempuan oportunis manipulatif yang sepertinya juga seorang sosiopath. Jessica Alba tidak semenggigit film pertamanya. Powers Boothe adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Anda kesal selain Green. Brolin belum bisa menggantikan kharisma Owen yang begitu khas melekat.
Disyut dan diedit sendiri oleh Rodriguez, 'Sin City: A Dame To Kill For' masih memberikan tampilan visual yang lebih keren dari apapun yang Anda lihat sepanjang tahun ini. Setiap muncratan darah, cahaya kehijauan dari mata Green, rambut jingga Juno Temple, semuanya disajikan seperti kita tengah membaca novel Miller. Setiap bayangan, setiap asap rokok akan membuat Anda bernostalgia ke sebuah dunia yang hanya bisa diciptakan oleh Miller. Dan musik jazz yang mengalun niscaya akan membantu Anda menyeringai lebar, menikmati para penghuni Kota Basin yang begitu amoral.
Namun sayangnya, film ini tidak memiliki nuansa magis seperti yang ditawarkan oleh film sebelumnya. Film ini masih menarik, menghibur, dan luar biasa cool seperti para selebtwit, tapi rasa penasaran kita sudah menguap. Mungkin sembilan tahun memang waktu yang terlalu lama untuk kembali mengingat kenangan soal mantan.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)