2014 adalah tahun ketika empat kura-kura sakti yang masing-masing dinamai dengan nama pelukis Itali zaman Rennaisance ini kembali beraksi. Michael Bay duduk manis sebagai produsernya sementara Jonathan Liebesman menjadi sutradaranya. Dalam versi baru ini, Megan Fox didapuk menjadi seorang reporter bernama April O’Neil, seorang wartawan yang sedang menyelidiki pahlawan (pahlawan?) misterius yang menyelamatkannya dari kawanan teroris yang menamakan diri mereka Foot Clan.
Mendiang ayah April (Paul Fitzgerald) yang merupakan seorang ilmuwan adalah salah satu alasan kenapa ia begitu terobsesi untuk menegakkan kebenaran. Ketika April akhirnya bertemu dengan sosok misterius yang menyelamatkannya dari teror Foot Clan, tidak ada seorang pun yang percaya bahwa ada mutan kura-kura yang juga ninja berkeliaran di kota New York. Tidak bosnya (Whoppi Goldberg, cameo singkat yang efektif) ataupun rekan kerjanya, Vernon Fenwick (Will Arnett).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditulis oleh Josh Appelbaum, André Nemec dan Evan Daugherty, 'Teenage Mutant Ninja Turtles' adalah salah satu film paling tanggung --kalau Anda mau menghindari kata "bodoh"-- tahun ini. Konfliknya begitu standar. Sestandar motivasi para penjahatnya yang ingin menjadi penjahat. Latar belakang si April yang digambarkan mencari kebenaran karena ayahnya sudah tiada demi menjaga kedamaian juga bisa Anda temukan di semua film yang ada di dunia ini. Resolusinya pun begitu sederhana.
Akting para pemerannya juga tidak membantu. Megan Fox --yang sepertinya sudah berbaikan dengan Michael Bay setelah tragedi 'Transformers: Revenge of the Fallen'-- tidak memberikan apa-apa sebagai pemeran utama selain pantatnya yang dijadikan komoditi 3D. Megan Fox bukan aktris yang begitu buruk. Jika Anda melihat 'Jennifer’s Body', tentu bisa melihat bahwa ia mempunyai potensi untuk menjadi aktris muda yang berbakat. Namun, berkat minimnya peran yang diberikan dalam skrip ini, Fox hanya berguna sebagai gula-gula manis.
Fichtner juga sama. Bakatnya yang luar biasa disia-siakan oleh skrip yang bodoh. Satu-satunya comic relief dalam film ini adalah Will Arnett yang masih bisa menyegarkan suasana dengan celetukannya yang beneran lucu. Yang juga patut diacungi jempol adalah keputusan pembuatnya untuk menaruh Will Arnett yang notabene seorang komedian dengan tampang biasa-biasa saja, sebagai pendamping Megan Fox yang jelas-jelas hot. Hollywood biasanya akan memilih sidekick yang lebih sixpack dan relatif lebih muda daripada Arnett.
Tapi, sebenarnya jika tidak keberatan dengan kebodohan skripnya, Anda bisa menikmati 'Teenage Mutant Ninja Turtles' dengan mudah. Keramaian empat kura-kura ini --Leonardo (disuarakan oleh Johnny Knoxville)r, Raphael (Alan Ritchson), Donatello (Jeremy Howard) dan Michaelangelo (Noel Fisher)-- adalah sajian utama film ini. Kebersamaan mereka, celotehan mereka adalah hal paling menarik dan menyegarkan sepanjang film. Persahabatan mereka begitu nyata. Dan, adegan “perpisahan” di akhir film --yang jelas-jelas terinspirasi oleh 'Almost Famous'-- adalah salah satu hal paling seru dalam film ini.
Dibandingkan dengan versi animasinya yang dirilis pada 2007 yang begitu buruk, versi yang satu ini mempunyai lebih banyak harga diri. Dengan CGI yang dibuat lumayan terampil --hampir semua adegan dimaksudkan untuk membuat segalanya terlempar di layar-- dan adegan kejar-kejaran di klimaks yang benar-benar membuyarkan teori fisika, 'Teenage Mutant Ninja Turtles' adalah nostalgia yang cukup menyenangkan. Terutama jika Anda tidak keberatan untuk mempertanyakan logika ceritanya.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)