'Into The Storm': Sensasi Tornado untuk Generasi Digital

'Into The Storm': Sensasi Tornado untuk Generasi Digital

- detikHot
Jumat, 08 Agu 2014 16:15 WIB
Jakarta - Sebelum sekuel, adaptasi buku remaja dan barisan pahlawan super mengguncang bioskop kita, film-film tentang hewan raksasa yang mengancam kehidupan nyawa manusia atau bencana alam yang membuat penonton teringat dengan kebesaran Tuhan sering kita lihat posternya di lorong bioskop. Dengan layar besar dan kekuatan tata suara yang dahsyat, bioskop adalah satu-satunya cara untuk menikmati pemandangan Paris dihancurkan atau New York dihantam tsunami. Warner Bros mengerti benar akan potensi ini. Di tengah serangan sekuel dan tendangan para pahlawan super, mereka siap bertanding dalam keramaian musim panas 2014 dengan 'Into The Storm', sebuah film bencana yang mengetengahkan tornado super sebagai sajian utamanya.

Ditulis oleh John Swetnam, seperti biasanya barisan individu yang tidak saling kenal, keluarga yang tidak harmonis serta orang-orang bodoh yang (biasanya) beruntung pada akhirnya akan saling bersikutan dan menyelamatkan satu sama lain. Ketika teroris membuat orang-orang asing semakin paranoid, kemarahan alam adalah satu-satunya hal yang membuat mereka sadar bahwa mereka saling membutuhkan.

Pada 1996 Jan De Bont, fresh setelah kegemilangan 'Speed', merilis sebuah film bencana berjudul 'Twister'. Film tersebut merebut hati begitu banyak penonton dan berakhir menjadi film berpenghasilan paling tinggi nomor dua di tahunnya. 'Into The Storm' secara sekilas memang memiliki premis yang mirip dengan 'Twister' --lengkap dengan subplot para pengejar tornado. Namun, secara keseluruhan film ini adalah suguhan yang berbeda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yang pertama kelihatan adalah ukurannya. Tornado dalam 'Twister' memang mencengangkan, dan cukup membuat Bill Paxton serta Helen Hunt kebingungan. Namun, 'Into The Storm' memiliki beberapa tornado yang spektakuler, terutama di bagian klimaks yang lumayan menggetarkan. Bahkan tornado milik Roland Emmerich yang meluluhlantakkan LA dalam 'The Day After Tomorrow' tidak ada apa-apanya dengan tornado dalam film ini. Tim visual efeknya yang rajin jelas berhasil mengerjakan bagian mereka. Hasilnya akan membuat Anda menghela napas.

Bagian kedua adalah penceritaannya. 'Twister' disajikan dengan cara original, seperti film-film 90-an pada umumnya. 'Into The Storm' dipersembahkan kepada penonton yang sudah familiar dengan kata "retweet", "subscriber Youtube" dan "unfriend". Generasi internet dianggap sudah bosan dengan penceritaan yang biasa saja. Sang sutradara, Steven Quale, memutuskan untuk menceritakan 'Into The Storm' dalam gaya semi-mockumentary. Beberapa kamera --tidak semua-- yang merekam kejadian seluruh film dipegang karakternya. Keputusan ini memberikan keuntungan dan kekurangan tersendiri terhadap filmnya.

Keuntungannya, kita sanggup menyaksikan momen-momen spektakuler yang tidak masuk akal seperti berada di tengah pusaran tornado. Dan, karena kita mengetahui bahwa kamera tersebut mewakili mata sang karakter, ketegangannya jadi terasa dua kali lipat lebih seru. Kekurangannya, apapun yang terjadi di layar terasa tidak sinematik. Dibandingkan dengan gambar di 'Twister', 'Into The Storm' kalah jauh. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan teknis seperti "bagaimana bisa kamera-kamera yang berbeda jenisnya itu mempunyai kualitas gambar yang sama dan aspek rasio yang serupa?" akan muncul di kepala Anda. Ketahanan kamera-kamera tersebut terhadap air dan tornado juga terlalu mustahil.

Dan, tentu saja, bagian terakhir yang membedakan 'Twister' dengan 'Into The Storm' adalah dramanya. 'Twister' memiliki lebih sedikit karakter namun memikat dan diperankan oleh aktor-aktor kawakan --ada mendiang Phillip Seymour Hoffman. 'Into The Storm' dibentuk oleh banyak karakter tipikal dengan permasalahan klise dan resolusi "medioker". Tornado adalah satu-satunya kesamaan antara keduanya. Tapi, itu memang bukanlah sajian utama film ini. Pusaran angin kencang dan rumah berhamburan serta mobil terbang adalah main course-nya. Untuk itu, 'Into The Storm' patut Anda rasakan sensasinya di layar terbesar yang bisa Anda temukan.

Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.

(mmu/mmu)

Hide Ads