Enam belas tahun kemudian makhluk tersebut muncul lagi. Masih dengan bendera Amerika di belakangnya sebagai pembuatnya. Ketakutan itu masih ada. Tapi mengingat 'Pacific Rim' bisa dikunyah dengan menyenangkan tanpa rasa sakit, mungkin saja 'Godzilla' versi baru ini bisa menjadi pengobat luka. Tapi, satu yang pasti, 'Godzilla' versi 2014 sangatlah berbeda dengan mimpi buruk Emmerich enam belas tahun silam.
Joe Brody (Bryan Cranston, mencuri setiap adegan), ahli nuklir dan duda yang terluka, ditangkap polisi saat memasuki daerah terlarang. Anaknya, Ford (Aaron Taylor-Johnson), terpaksa pergi ke Jepang untuk menjemput sang buah hati. βLupakan saja semua,β kata sang anak. Mencoba mengingatkan bahwa apapun yang dilakukan ayahnya tidak akan mengembalikan kembali ibunya yang sudah meninggal. Tapi tidak, Joe pantang menyerah. Dia tahu sekali bahwa βmerekaβ menyembunyikan sesuatu darinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara visual, apalagi kalau Anda menyaksikannya dalam bentuk IMAX 3D, 'Godzilla' tidak kalah menggetarkan dengan versi Emmerich. Bahkan mungkin lebih. Hasil gambar Seamus McGarvey yang begitu dramatis --untuk menghindari kata βgalauβ-- membuat Godzilla terasa begitu emosional. Banyak sekali shot dengan kamera tersembunyi di balik kaca, membuat penampakan monster terasa begitu dramatis daripada sesungguhnya. Keagungan efek visual dan musik Alexandre Desplat yang menderu-deru juga turut membantu Anda untuk tetap berdoa, berharap agar siapapun yang ada di layar untuk tetap semangat.
Tapi, semua itu sudah bisa ditebak. Dengan bujet sebesar 160 juta dollar, siapapun pasti bisa membuat film dengan production value yang lebih dari mengesankan. Pertanyaan pentingnya, apakah 'Godzilla' yang baru ini mampu membuat kesan buruk tahun 1998 menghilang? Jawabannya iya.
Gareth Edwards, sang sutradara yang jauh-jauh diimpor dari Inggris untuk menggarap film ini mengejar sesuatu yang berbeda. Dia bukan remaja puber yang keranjingan sesuatu yang extravaganza dan liar. Dia mengejar feeling putus asa dan kepasrahan umat manusia. Dan dia begitu berhasil melakukannya, seperti yang ia lakukan dalam film indie tentang makhluk raksasa yang juga begitu keren beberapa tahun lalu dalam 'Monsters'.
Sejak film dibuka dengan opening credits yang begitu meyakinkan, Gareth Edwards tidak buru-buru untuk langsung masuk ke tahap penetrasi. Foreplay Edwards begitu canggih. Dia membiarkan penonton terlena dengan legenda Godzilla yang sengaja dibuat legendaris dan epik. Kita dibuat menunggu, menunggu dan begitu akhirnya makhluk kece itu keluar dari sarangnya, penonton hanya bisa dibuat terperangah.
Kekurangan Godzilla yang baru ini adalah bahwa baik Edwards dan Max Borenstein, sang penulis skrip, tidak membagi porsi kisahnya dengan rata. Setengah jam pertama film, Godzilla sangatlah gurih. Eksploitasi drama keluarga Brody sangatlah membantu. Apalagi Bryan Cranston menyumbangkan permainannya yang tidak membosankan. Namun begitu masuk ke periode masa kini, keseruan itu menjadi menurun.
Drama keluarga Ford dan istrinya Elle (Elizabeth Olsen) tidak semenarik drama Joe dan Sandra (Juliette Binoche, singkat namun efektif), bahkan bisa dibilang hambar. Olsen dan Taylor-Johnson sendiri juga tidak memberikan kontribusi akting yang setara dengan Cranston. Agak disayangkan mengingat keduanya adalah salah satu sedikit dari aktor muda yang lumayan berbakat.
Meskipun begitu, 'Godzilla' masih tetap tontonan blockbuster musim panas yang seru dan jelas jauh lebih unggul daripada mainan Emmerich enam belas tahun silam. Edwards berhasil membungkus sesuatu yang begitu konyol ke dalam sebuah keseriusan tanpa membuatnya menjadi aneh. Dan martabat 'Godzilla' pun kembali terangkat.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)











































