Di sekuel kedua versi reboot pahlawan laba-laba ini, Peter Parker lulus dari SMA. Bayang-bayang kematian ayah kekasihnya membuat Peter Parker memutuskan untuk berbalik badan dan pergi dari Gwen Stacy (Emma Stone). Tapi bisakah? Ketika dua remaja bertemu dengan seseorang yang begitu pengertian, agak susah untuk benar-benar menutup mata.
Di sisi lain, Max Dillon (Jamie Foxx), seorang teknisi Oscorp yang kesepian, mengalami kecelakaan dan membuat dirinya menjadi manusia listrik yang mematikan. Oscorp, seperti halnya korporat-korporat yang “pintar”, menyembunyikan Dillon ke institusi bagi para kriminal sakit jiwa. Seperti diatur, kecelakaan Max Dillon/Electro juga bertepatan dengan datangnya Harry Osborn (Dane DeHaan) ke kota Big Apple tersebut. Sang ayah, Norman Osborn (Chris Cooper dalam make-up yang menyeramkan) meninggalkan dunia dan sebuah rahasia tentang perusahaan miliar dollar-nya.
Harry yang sekarat, terasing dan kebingungan meminta bantuan kepada Spider-Man untuk menyelamatkan nyawanya. Tapi Peter tahu, yang diminta sahabatnya adalah hal yang berat. Kecewa, Harry memutuskan untuk berjalan ke arah kegelapan dan meminta bantuan Electro. Tinggal menunggu waktu sebelum semua cahaya di kota tersebut lenyap dan takdir di tangan bocah kurus malang tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain visual efek yang lebih canggih, tidak ada sesuatu yang baru yang ditawarkan dari Spider-Man karya Marc Webb tersebut. Bagian romansa remaja antara Peter Parker dan Gwen Stacy juga terasa klise jika dibandingkan pengadeganan Raimi atas Parker dan Mary Jane. Hal tersebut begitu menyebalkan mengingat Marc Webb direkrut untuk menjadi komandan serial ini karena tangan dinginnya mengolah romantisme basi menjadi menyenangkan seperti yang ia lakukan pada '(500) Days of Summer'.
Beruntunglah di sekuelnya ini Webb menunjukkan kembali kepada penonton bahwa 'The Amazing Spider-Man' memiliki bagian percintaan yang tidak bikin ngantuk. Keputusannya untuk memperlihatkan hubungan Peter Parker dan Gwen Stacy dalam porsi yang lumayan besar cukup mempengaruhi drama film secara keseluruhan menjadi relevan. Andrew Garfield dan Emma Stone, sebagai pasangan asli di dunia nyata, juga lebih memiliki chemistry dan kebersamaan yang lebih meyakinkan.
Soal bagian action, Webb juga naik kelas. Jika di film sebelumnya kemungkinan Anda menguap jauh lebih banyak, film ini lebih memberikan banyak ruang untuk tetap menyeringai menyoraki aksi manusia laba-laba tersebut. Dalam bentuk 3D, Anda benar-benar bisa merasakan terbang bersama Spidey. Teknologi CGI-nya jelas lebih unggul daripada film-film Spider-Man sebelumnya, walaupun adegan slow-mo-nya yang terlalu banyak terasa seperti sedang pamer.
Salah satu peningkatan yang jelas terlihat dalam sekuelnya kali ini adalah musik. Di film sebelumnya James Horner menangani musiknya dan membuat filmnya menjadi membosankan dan terkesan jadul seperti sinetron di televisi kita. Di film yang terbaru ini Webb mengajak Hans Zimmer dan The Magnificent Six —Pharrell Williams, Johnny Marr (dari The Smiths, Modest Mouse), Michael Einziger (dari Incubus), Junkie XL, Andrew Kawczynski dan Steve Mazzaroritten— yang akhirnya membuat 'The Amazing Spider-Man 2' menjadi sebuah film yang seru, menegangkan dan terasa sekali aura anak mudanya.
Pertanyaan terpentingnya sekarang bukanlah apakah film ini bagus atau tidak. 'The Amazing Spider-Man 2' jelas merupakan sebuah hiburan yang paten dan perkembangan yang signifikan dari film sebelumnya. Pertanyaan yang penting adalah apakah 'The Amazing Spider-Man 2' lebih baik daripada 'Spider-Man 2'? Jawabannya ternyata adalah tidak. 'Spider-Man 2' memiliki kedewasaan dan aktualisasi diri yang belum disentuh oleh Marc Webb. Pada akhirnya 'The Amazing Spider-Man 2' seperti film-film superhero yang lain: hingar bingar, bermodalkan efek visual yang mahal dan minim gebrakan. Tapi, melihat masa depan Spider-Man yang masih panjang —sudah direncanakan setidaknya dua film lagi sampai 2018— kita bisa berharap bahwa bocah yang malang itu bisa berkembang menjadi manusia —dan pahlawan— yang lebih baik lagi.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)