Namun, tidak semua beranggapan demikian. Beberapa orang menganggap apa yang dilakukan pasangan Caster adalah percobaan menjadi Tuhan. Itu tak boleh terjadi. Will pun menjadi korban dan jatuh koma. Tentu saja, sang istri tak siap kehilangan sang suami. Ide ekstrem melintas di kepalanya untuk mengunggah semua pemikiran Will ke dalam komputer. Namun, Max Waters (Paul Bettany), rekan dan sesama jenius, menolak ide tersebut. Sebab, jika saja ada kesalahan, satu memori masa kecil saja absen, semuanya akan berubah kacau. Tapi, sang janda ngotot. Rasa kehilangan mengalahkan segalanya, dan Max pun luluh.
Isi kepala Will akhirnya berhasil diunggah ke dalam komputer. Semua warisan Will terekam jelas; Will "hidup lagi" di dalam komputer. Dia bisa mengenali istrinya, rekan, dan hasil kerjanya. Will pun menginginkan keabadian dan meminta istrinya untuk menyambungkannya ke internet. Dan, ini adalah awal dari bencana yang akan ditanggung semua umat manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalahnya, skrip 'Transcendence' berakhir terlalu muluk. Wally Pfister --sinematografer andalan Christopher Nolan yang naik kelas dengan melakukan debut penyutradaraannya-- tidak bisa menyelamatkannya bahkan dengan cast yang menarik. Plot yang bertele-tele serta interaksi Evelyn dan Will yang terlalu didramatisasi membuat film yang tadinya berpeluang untuk membuat penonton panik malah bikin ngantuk. Belum lagi bagian babak ketiga yang tidak hanya menyederhanakan masalah namun membuat semua karakternya menjadi tampak bodoh. Benarkah Will mempunyai kekuatan sebesar itu?
Selain tempo yang terlalu lambat, Pfister juga belum mengarahkan pemainnya untuk menunjukkan kelas mereka. Berbeda dengan gurunya, Christopher Nolan, yang fasih mengarahkan bintang-bintang terkenal untuk berakting gemilang. Johnny Depp dalam film ini adalah Johnny Depp. Tidak ada bedanya dengan peran-perannya yang lain. Hanya saja dia tidak seaneh yang kita lihat seperti film-film dia yang lain. Kate Mara, Paul Bettany, Morgan Freeman dan Cillian Murphy tidak diberikan ruang yang luas untuk menggali karakter mereka lebih dalam. Bahkan karakter dalam video game saja jauh lebih tiga dimensi daripada mereka. Rebecca Hall adalah yang paling mendekati oke.
Sebagai sinematografer, Pfister memang tahu benar bagaimana membuai penonton dengan gambar-gambar yang jempolan. Musiknya pun lumayan membantu penonton untuk meresapi ketegangan. Tapi, pada akhirnya 'Transcendence' hanya berakhir seperti sebuah angan-angan mahasiswa informatika yang sedang mabuk di malam minggu. Ide yang menarik, tapi tidak begitu menyenangkan untuk dirasakan.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)











































