Tentu saja, seperti layaknya sebuah kisah cinta yang klasik, 'Endless Love' memiliki set-up yang gampang disukai: David Elliott (Alex Pettyfer), cowok dengan wajah tampan, badan bagus namun miskin naksir dengan Jade Butterfield (Gabriella Wilde) yang kaya raya. Walaupun berada di satu sekolah selama empat tahun, David tidak pernah sekalipun menyapa Jade, apalagi mengajak berkencan.
Â
Di akhir kelulusan mereka, David akhirnya memberanikan dirinya untuk berbicara dengan Jade. Jade, yang kaku dan dikekang oleh sang ayah (Bruce Greenwood), merasa dirinya perlu melakukan tantangan. Cukup sudah meratapi nasib kakaknya yang tragis. Jade ingin masa-masa remajanya tetap ceria. Jade akhirnya berbicara dengan David yang berujung pada percikan-percikan asmara. Cinta mereka begitu indah, lugu, murni dan tulus. Sayang, sang ayah tak membiarkan itu terjadi. Dan, inilah saat bagi dua sejoli itu untuk mempertaruhkan semua yang mereka punya demi cinta.
Bagi Anda yang pernah menonton 'Endless Love' versi 1981 tentu sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Versi terbaru ini --ditulis oleh Joshua Safran, lulusan serial anak muda terkenal 'Gossip Girl' dan sang sutradara sendiri, Shana Feste-- ternyata jauh lebih 'tak setia' pada novel yang menjadi sumbernya, karya Scott Spencer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, 'Endless Love' yang dijual untuk generasi anak muda era digital sekarang ini juga masih ngotot untuk mempertahankan hal-hal yang harusnya bisa di-upgrade lebih canggih. Seperti, adegan kecelakaan setelah pertikaian hebat antara dua karakter utama, yang gagal menghasilkan efek simpati yang membuat haru penonton.
Â
Keantagonisan Hugh Butterfield, ayah Jade, juga tidak diberi alasan yang lebih jelas selain "ingin anaknya mempunyai masa depan yang lebih baik". Tak seperti Miranda Priestly dalam 'The Devil Wears Prada' yang walaupun superkejam tapi diberi bumbu humanis agar dia tetap terlihat tiga dimensi, pembuat 'Endless Love' ngotot membuat sosok sang ayah menjadi monster yang melakukan segala cara agar anaknya berpisah dengan lelaki impiannya. Sebagai sebuah karakter, dia memang paling menarik. Hugh adalah karakter yang mengalami perjalanan emosi paling komplit dalam film ini. Namun, tetap saja, hal itu tak lantas membuatnya menjadi 'tiga dimensi' yang meyakinkan.
Akting para pemerannya pun juga tidak turut membantu untuk membuat 'Endless Love' menjadi asik untuk dinikmati. Pettyfer dan Wilde --keduanya orang Inggris-- memang masih keliatan pas untuk menjadi anak SMA walaupun umur mereka sudah berada di atas 20-an. Namun, secara emosi mereka hampa. Dialog yang mereka ucapkan tidak pernah sampai di level meyakinkan. Dengan sinematografi yang terang benderang mereka seperti dua orang model yang berada di sebuah photo-shoot dan kebetulan mengalami drama percintaan.
Â
Tapi, meskipun begitu, ada momen-momen dalam 'Endless Love' yang cukup menyenangkan. Seperti ketika Jade dan David naik di belakang pick-up dan menulis "I Love You" di kaca. Tiga puluh menit pertama film juga menyenangkan. Soundtrack film ini --yang dipenuhi dengan musisi paling obscure yang bisa Anda temukan-- juga banyak membantu untuk membuat filmnya nampak lebih hip. Namun, lebih dari itu, 'Endless Love' terlalu sia-sia untuk menjadi tontonan Anda di momen Valentine. Bahkan robot dalam 'RoboCop' punyai kisah cinta yang lebih dalam daripada dua manusia rupawan ini.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)