Situasi yang sangat lain menimpa 'Killers'. Banyak penonton yang tak bisa "move on" dari 'Rumah Dara', dan sebagian lagi bahkan telah terjangkiti sindrom "Marvelingitis" --sebuah gangguan psikologis yang membuat pengidapnya menuntut lebih dari yang ia terima sebelumnya. Setelah mega blockbuster 'The Avengers' usai, 'Iron Man 3' hadir dengan lebih banyak ledakan, lebih banyak humor, lebih banyak aksi, dan lebih banyak ledakan, dan lebih banyak ledakan lagi. Setelah menonton 'Rumah Dara', penggemar menginginkan lebih banyak literan darah yang mengalir dan muncrat memenuhi layar bioskop. Sebagian lagi berharap agar adegan pembunuhannya jauh lebih sadis, lebih inventif, dan lebih menyenangkan.
Dan, slasher memang soal kesenangan. Di balik berliter-liter darah yang mengalir, potongan-potongan tubuh yang berserakan, dan jeritan-jeritan para tokoh dalam film, kesakitan mereka justru kita rayakan, tak jarang kita malah tertawa dan bertepuk tangan saat menyaksikannya. Sebab, film slasher biasanya hadir dengan kadar reka percaya yang kurang, seperti episode-episode serial kartun 'Tom and Jerry', dan kita selalu tahu jagoan kita bakal selamat hingga di pengujung film.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di belahan lain planet bumi, Bayu (Oka Antara, 'Sang Penari', 'The Raid 2') tengah dirampok di dalam taksi yang ditumpanginya. Sambil ditodong senjata, ia disodomi, hingga akhirnya ia mampu menguasai situasi dan berhasil menembaki kedua perampoknya. Alih-alih menyuguhkan adegan close up kepala yang pecah berhamburan terkena peluru pistol, Mo Brothers lebih memilih untuk menjaga jarak. Kita hanya melihat kilatan-kilatan dan suara ledakan tembakan dari luar jendela taksi. Lalu Bayu loncat keluar menjauhi taksi, tubuhnya berlumuran darah dan ia terguncang. Inilah slasher yang sesungguhnya, bila boleh meminjam istilah "slash" dalam ragam bahasa slang yang berarti terkencing-kencing. Tak seperti Nomura yang kalem setelah aksi membunuhnya, Bayu jelas terkencing-kencing, amat ketakutan dan lepas kendali.
Adegan ini bisa dilihat sebagai usaha demonstrasi studi psikologis terhadap seseorang yang baru saja menghilangkan nyawa manusia, direkayasa lewat gaya pengarahan yang mendekati kenyataan. Kita sudah sering menyaksikan adegan pembunuhan dalam film-film action. Bahkan, faktanya tokoh pembunuh berdarah dingin seperti Nomura biasanya hadir sebagai protagonis dalam film-film action produksi Hollywood. Tom Cruise, Jason Statham, Chuck Noris biasanya memerankan karakter yang sejiwa dengan Nomura. Dalam 'Knight and Day' Tom Cruise berperan sebagai Roy, seorang mata-mata yang membunuhi banyak orang dengan amat santai --seperti seorang penjaga toko yang mengucap selamat pagi kepada pelanggan. Namun, penonton tak sedikit pun bergidik ketakutan, karena kita sudah terbiasa dengan penggambaran seperti itu. Maka, saat kita melihat Bayu merangkak keluar dari taksi itu dengan keadaan jiwanya yang terguncang, kita malah menganggap akting Oka Antara berlebihan --atau, ada istilah kerennya untuk ini: trying too hard.
Nomura, "American Psycho" dari Jepang ini, diperankan dengan amat sangat gemilang oleh Kazuki Kitamura. Tentu persona yang ia mainkan juga tak luput dari cerita yang ditulis dengan sangat teliti oleh Timo Tjahjanto dan Takuji Ushiyama yang sekaligus menjadi satu di antara produser film ini. Oka Antara sebagai Bayu, di lain pihak, dianggap sebagai bukan tadingan Kazuki Kitamura; kalah keren, kalah ganteng, dan lain sebagainya, padahal karakter yang dimainkannya memang sudah diplot seperti itu. Oka jelas bermain total, dan menertawakan penampilannya yang kusut berantakan, juga ingusnya yang meler dari hidungnya sepanjang film, adalah sebuah #salahfokus.
'Killers' jelas sebuah thriller pembunuhan yang mumpuni, dan uniknya, di balik gembar-gembor promosi film ini sebagai thriller psikologis yang gelap, Mo Brothers justru menawarkan secercah terang di pengujung film. Rupanya pembuat film ini masih percaya akan pengharapan dan nilai-nilai tua dalam sinema, bahwa kehadiran protagonis haruslah ada. Kita boleh saja menyebutnya naif, namun pilihan tersebut juga tak sepenuhnya salah.
Pada akhirnya, sebagai penonton, kita seperti tokoh gadis kecil yang tak berdaya itu di akhir film. Setelah apa yang kita saksikan, kita bisa ikut terguncang, atau bersikap biasa-biasa saja. Dua-duanya sah, namun alasannya jelas amat berbeda, dan kita tahu kenapa.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)