Film kemudian bergulir dengan set Jawa Timur tahun 1912. Bocah laki-laki bernama Kusno terbujur lemah karena sering sakit-sakitan. Kemudian sang ayah Raden Soekemi Sosrodihardjo (Sujiwo Tedjo) membuat slametan dan mengganti nama sang anak menjadi Soekarno.
Memasuki masa remaja, sisi flamboyan dan kharismarik dari pria yang kelak menjadi Sang Proklamator itu sudah terasa. Dengan mudahnya, ia memikat gadis Londo. Soekarno yang darah mudanya masih bergejolak karena cinta, nekat mendatangi rumah sang gadis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari situ, pergolakan dalam hati Soekarno yang melihat kesewenang-wenangan Belanda semakin membuncah. Ia mulai belajar berpidato di kamarnya yang lembab dan sempit dengan suara menggelegar. Para tetangga yang mendengar, mengintip dari celah jendela.
Ketika sang ayah mengirimnya ke Surabaya pada 1916, Soekarno bertemu dengan pendiri Sarekat Islam, Tjokroaminoto. Hatinya tergugah melihat ratusan orang yang bersemangat dan bergejolak karena kata-kata dari pidato Tjokroaminoto.
Adegan kemudian berganti belasan tahun kemudian saat Soekarno berdiri di atas mimbar di hadapan simpatisan Partai Nasional Indonesia (PNI). Pidato Soekarno tak hanya menanamkan ideologi yang menyadarkan, namun bisa membangkitkan revolusi. Sosoknya yang dicintai rakyat juga membuat Belanda ketar-ketir hingga ia dibawa ke Penjara Banceuy, Bandung pada 1929 dan kemudian diasingkan ke Pulau Ende, NTT. Karier politiknya dimulai lagi ketika ia diperbolehkan ke Pualu Jawa oleh Jepang.
'Soekarno: Indonesia Merdeka' sempat dikhawatirkan akan terlalu memiliki unsur drama yang berlebihan karena juga mengekspos kisah cintanya dengan Inggit Ganarsih (Maudy Koesnaedi) dan Fatmawati (Tika Bravani). Tetapi kekhawatiran itu ditepis dengan muatan sejarah yang cukup dalam, dan tak sekadar menjadi tempelan, 'penyakit' yang kerap menjangkit film-film Indonesia bertema serupa.
Bahkan, dramatisasi kisah cinta Soekarno kurang dibahas lebih jauh. Tak ada pembahasan soal istri pertama Soekarno, Siti Oetari, yang merupakan putri dari Tjokroaminoto.
Tak ada pula cerita awal Soekarno terlibat cinta dan kemudian 'merebut' Inggit Garnasih dari Sanoesi, pemilik asrama tempat Soekarno tinggal saat menjadi pelajar. Saat menikahi Inggit yang lebih tua 13 tahun darinya, Soekarno harus menceraikan Siti Oetari. Hal yang sama terjadi pada Inggit ketika Soekarno jatuh hati dengan Fatmawati.
Nampaknya, Hanung juga tidak ingin terjebak dengan stigma 'drama ala sinetron' dan lebih fokus memberikan porsi pada karakter-karakter penting lain.
Para penonton muda akan diperkenalkan dengan tokoh Sjahrir (Tanta Ginting), tokoh yang memiliki pemikiran berseberangan dengan Soekarno dan Hatta (Lukman Sardi) karena mengambil jalur diplomatis dengan Jepang. Namun di sisi lain, Sjahrir yang dimainkan dengan bagus oleh Tanta itu juga mengagumi sosok Soekarno. "Bahkan 3 orang Sjahrir tak bisa menggantikan Soekarno," katanya kepada kaum pemuda yang juga memiliki pemikiran berseberangan.
Tokoh lainnya yang tampil dalam film juga mungkin saja membuat anak muda (kembali) tertarik mencari informasi lebih jauh. Ada Gatot Mangkuprojo, pemimpin pasukan yang menjadi embrio Tentara Nasional Indonesia, yang tak lain teman Soekarno saat di penjara Banceuy. Juga tokoh-tokoh seperti Sayuti Melik, Kartosuwiryo, Ki Hadjar Dewantara, Achmad Soebardjo, hingga Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Apresiasi patut diberikan pada Ario Bayu yang tak tenggelam pada sosok besar Soekarno. Pidato dan ekspresinya menggugah dan mampu membawa kharisma Bung Karno dengan cukup baik. Keseriusan Hanung dalam membuat set lokasi dan menggunakan banyaknya pemain figuran, juga pantas diberikan dua jempol.
Sebelum pemutaran perdana, Hanung mengungkapkan bahwa dirinya mempertaruhkan segalanya untuk filmnya kali ini. Tampaknya, dia berhasil. Sekali lagi, 'Soekarno: Indonesia Merdeka' adalah karya megah yang sejauh ini menjadi puncak karier Hanung Bramantyo.
(ich/mmu)