Menggabungkan elemen komik, humor satir yang kadang begitu menyakitkan, sindiran kehidupan perkotaan yang dipenuhi dengan manusia-manusia individualis, pop-culture reference seperti internet dan film superhero, adegan kekerasan yang begitu brutal serta sinematografi penuh warna-warni lengkap dengan soundtrack yang menggelegar menjadi resep mengapa 'Kick-Ass' begitu digemari. Meskipun, secara box-office tidak sehebat 'Iron Man' atau film-film Marvel lainnya (salah satunya karena rating yang dikhususkan untuk penonton dewasa), penonton yang fanatik menjadikannya sebagai salah satu film instant classic yang mau tak mau harus dibuatkan sekuelnya.
Kini kursi sutradara dan penulis berpindah ke tangan Jeff Wadlow yang sebelumnya membuat 'Cry Wolf' dan 'Never Back Down', sementara Vaughn menjadi produser. Dalam 'Kick-Ass 2', Dave (Aaron Taylor-Johnson) dan Mindy (Chloe G. Moretz) berusaha keras untuk menjadi normal namun gagal. Keduanya akhirnya memutuskan untuk menjadi superhero yang selayaknya. Di tengah jalan Mindy terpaksa keluar dari proyek ini karena Marcus (Morris Chestnut) memintanya untuk menjadi gadis normal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain Chris DβAmico (Christopher Mintz-Plasse) masih terobsesi menjadi super-villain setelah percobaannya menjadi Red Mist gagal. Kematian ayahnya kemudian menginspirasi dirinya untuk menjadi penjahat bernama The Motherfucker. Dengan kekayaannya yang melimpah, The Motherfucker merekrut semua penjahat paling sangar yang bisa dia temukan untuk membalaskan dendamnya kepada Kick-Ass.
Kata 'subtle' dan 'elegan' tidak pernah ada dalam kamus Kick-Ass. Seperti film sebelumnya, 'Kick-Ass 2' masih dipenuhi dengan berbagai macam hal yang kasar seperti nama The Motherfucker dan Night Bitch. Seperti film sebelumnya juga, film ini masih dipenuhi dengan adegan laga yang superviolent. Salah satu di antaranya melibatkan orang dilindas mobil sampai darahnya muncrat ke mana-mana. Yang absen dari film ini adalah keseruannya.
'Kick-Ass 2' mengalami 'penurunan' karena terlalu banyaknya karakter yang tumpang tindih dalam durasi 103 menit. Tidak cukup banyak pengenalan karakter yang membuat penonton peduli dengan karakter-karakternya sehingga tidak terbangun emosi yang cukup untuk membuat penonton simpati. Hal itu tentu sangat berbeda dengan film pertamanya. Film pertamanya begitu baik mengenalkan karakter-karakternya sehingga penonton merasa begitu terikat dengan tokoh-tokoh di filmnya.
Humor-humornya pun terasa agak hit and miss. Beberapa memang masih ampuh untuk membuat tertawa, namun kebanyakan terasa agak dipaksakan; hal yang juga tidak terjadi di film pertamanya. Cukup disayangkan mengingat humor satir yang pahit adalah salah satu daya tarik utama 'Kick Ass'. Adegan klimaks di pengunjung film pun tidak semenggelegar film pertamanya yang penuh dengan momentum.
Meskipun begitu, Aaron Taylor-Johnson dan Christopher Mintz-Plasse masih memainkan karakter mereka dengan baik. Tapi, Chloe G. Moretz-lah yang masih mencuri perhatian. Dengan mulutnya yang lancar mengeluarkan celetukan-celetukan kasar dan kelincahan tubuhnya yang tak tertandingi, Moretz membuat 'Kick-Ass 2' menjadi lebih hidup. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan film ini tanpanya.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)











































