'Laura & Marsha': Berserah Diri pada Kebetulan

'Laura & Marsha': Berserah Diri pada Kebetulan

- detikHot
Selasa, 04 Jun 2013 11:04 WIB
Jakarta - Demi mengenang dua tahun kepergian ibunya, Marsha (Adinia Wirasti) ingin bepergian keliling Eropa. Tak mau sendiri, ia lantas mengajak temannya, Laura (Prisia Nasution) untuk pergi bersama. Namun, Laura dengan sejumlah pertimbangan, sulit sekali untuk mengiyakan bujukan Marsha tersebut, walau pada akhirnya mereka pergi juga.

Laura adalah karyawati agen perjalanan, juga seorang ibu tunggal bagi putri semata wayangnya yang cantik menggemaskan, Luna (Amina Afiqa Ibrahim). Suaminya, Rian (Restu Sinaga) pergi meninggalkan mereka berdua tanpa alasan yang jelas. Rutinitas Laura teratur sekali, pagi bekerja, lalu pulang saat matahari mulai terbenam.

Sedangkan, Marsha adalah seorang penulis buku traveling, cewek spontan dan berjiwa bebas. Dua orang dengan sifat bertolak belakang itu lalu bersama-sama menapaki jalan. Ini resep biasa untuk sebuah road movie. Lantas, kenapa kita masih harus menonton film ini?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

'Laura & Marsha' dibuka oleh perjalanan sebuah kartu pos bergambar koloseum hingga sampai ke tangan Laura. Kartu pos itu menjadi alasan bagi Laura untuk mau melancong ke Eropa, alasan yang tak pernah ia ceritakan kepada Marsha, juga kepada penonton hingga menjelang akhir film.

Titien Wattimena sebagai penulis naskah agak bermain-main dalam meramu resep template untuk plot road movie dengan menambahinya beberapa takaran planting. Namun, apa boleh buat, payoff-nya yang lumayan mengejutkan di penghujung film masih tak mampu mengindari klise drama menye-menye serba kebetulan tentang isu kehilangan.

Kebetulan adalah jurus ampuh yang selalu dipakai para penulis cerita dalam memudahkannya merangkai kisah, pun untuk seorang Titien Wattimena yang sudah menghasilkan banyak naskah cerita film (antara lain 'Mengejar Matahari', 'Hello Goodbye'). Rupanya Titien lebih memilih jalan gampang untuk merajut plot tanpa mau berupaya sedikit spontan layaknya karakter Marsha yang ia ciptakan.

Titien lebih suka menampilkan kebetulan-kebetulan sekedar agar plot cerita tetap bergulir saja. Lihat misalnya adegan Marsha yang secara kebetulan bertemu Finn (Ayal Oost) di sebuah toko swalayan, lalu ia dan Laura memberinya tumpangan. Tokoh Finn yang semula seakan numpang lewat itu ternyata memiliki peranan penting dalam konklusi film. Bila saja Finn tak memiliki peranan sepenting itu, sejatinya adegan kebetulan di toko swalayan tadi tak ada masalah.

Titien jelas ceroboh menciptakan adegan kebetulan tersebut, dan ia tak berhenti sampai di situ. Jangan lupakan adegan Laura dan Marsha yang secara kebetulan mendapat tumpangan naik mobil rombongan grup band yang mereka temui di jalan. Lalu, di lain adegan, Laura dan Marsha yang sudah kehabisan uang, dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan menjadi pelayan kafe yang kebetulan sedang mencari pegawai. Dan, kebetulan-kebetulan lainnya bergulir silih berganti.

Menonton film karya sutradara Dinna Jasanti ('Burung Burung Kertas', 2007) ini, kita seolah diajak melancong bersama Laura dan Marsha, traveling bareng-bareng ke Amsterdam (Belanda), Bruhl (Jerman), Innsbruck (Austria) , Venice, hingga ke Verona -- tempat kelahiran Romeo dan Juliet (Italia).

Entah kebetulan atau bukan, yang pasti produser Leni Lolang ('Ai Lop Yu Pul', 'Jagad X Code') dan sutradara Dinna Jasanti beruntung sekali dapat menggaet Prisia Nasution dan Adinia Wirasti. Keduanya sangat prima dalam peran masing-masing. Karakter Laura yang disiplin, agak kaku dan cenderung kolot memang pas sekali diperankan oleh Pia yang sebelumnya juga sempat memukau lewat perannya sebagai Srintil dalam 'Sang Penari' (Ifa Isfansyah, 2011).

Pia mampu menampilkan keresahan lewat gerak tubuh dan raut mukanya. Lihat misalnya adegan ketika ia kesal mengetahui Marsha mengajak Finn, juga rasa yang tak nyaman ia perlihatkan ketika didekati Hugo, manajer grup band yang mereka temui di jalan. Film ini jelas menegaskan kembali bahwa Pia bukanlah seorang aktris sembarangan.

Sedangkan untuk Asti, ini adalah kali kedua dirinya berperan dalam gelaran road movie, semacam pengulangan peran saja. Di film sebelumnya, '3 Hari untuk Selamanya' (Riri Riza, 2006), ia memerankan Ambar, karakter yang tak jauh beda dengan Marsha. Karakter mereka sama-sama berjiwa bebas, dan (entah kebetulan atau bukan) karakter keduanya juga diperlihatkan suka mengisap ganja.

Di film ini, Asti berhasil lewat mimik dan gestur tubuhnya yang begitu alamiah sebagai seorang backpacker. Lihat misalnya adegan ketika berkenalan dengan Finn yang seorang asing, ia sangat asik dan santai sekali. Kecepatan akrabnya bisa dibilang bukti bahwa dirinya kerap bepergian ke pelbagai tempat. Dan, ia menunjukkannya dengan begitu meyakinkan.
Β 
Puncak gelaran akting keduanya adalah ketika mereka beradu mulut di sebuah bangunan tak berpenghuni, bertengkar tentang alasan-alasan kepergian mereka ke Eropa. Pertengkaran inilah yang pada akhirnya menelanjangi diri mereka masing-masing, menyingkap rahasia-rahasia yang ternyata tak pernah diceritakan satu sama lain sebagai sahabat baik sejak lama.

Menyaksikan adegan tersebut sungguhlah sebuah pembayaran yang pantas atas kesabaran kita yang setia mengikuti perjalan mereka sedari awal, lalu kita bisa berpura-pura lupa bahwa di luar faktor Pia dan Asti, film ini memang hanya bertumpu pada plotnya yang serba kebetulan saja, nyaris tanpa tawaran apa-apa selain daripada itu.

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)

Hide Ads