Film ini seolah-olah melanjutkan tradisi yang sudah mereda setelah memasuki dekade 1990-an itu. Dan, ternyata, Jawa masih tetap sama dengan yang pernah digambarkan oleh Clifford Geertz, Ben Anderson dan kolega-koleganya dulu. Bahkan, kali ini, Kesultanan Jawa seolah bangkit lagi, lengkap dengan intrik perebutan kekuasaan dan berbagai kepentingan "asing" yang mengepungnya.
Tapi, apakah tidak berlebihan dan bahkan mungkin mengada-ada, mensejajarkan film dengan hasil studi para akademisi kampus? Sama sekali tidak, sebab film ini walaupun 100% bisa dibilang sebagai produk Indonesia, namun dikerjakan oleh sutradara (yang sekaligus menulis naskahnya) asing, asal Amerika, Conor Allyn. Sebelumnya, ia juga mengerjakan trilogi 'Merah Putih' yang berkisah tentang revolusi Indonesia melawan kolonialisme Belanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa itu mempertemukan Komandan Detasemen 88, Hashim (Ario Bayu) dengan seorang bule yang dicurigai (Kellan Lutz). Mengaku sebagai asisten dosen pascasarjana yang mengajar sejarah seni Asia Tenggara, si bule kemudian diketahui pernah punya aktivitas di Timur Tengah dan punya banyak nama. Hal itu semakin membuat Hashim curiga dengan pria yang pada saat kejadian pemboman memang ada di lokasi, dan sempat berbicara dengan Sultana itu.
Penyelidikan terhadap mayat yang diduga Sultana melahirkan teka-teki baru, yang memaksa Hashim untuk lebih lunak menghadapi si bule, hingga akhirnya mereka bahkan bekerja sama. Sementara jenderal Kepala Polisi telah menetapkan nama tersangka, dan melakukan penggerebekan bersama anak buahnya, Hashim dan teman barunya itu punya agenda sendiri, yang mengantarkannya pada nama-nama lain sebagai tersangka, yang berujung pada sosok eksentrik bernama Malik (Mickey Rourke).
'Java Heat' adalah sebuah drama aksi detektif yang cukup berliku, mengikat penontonnya ke dalam teka-teki, dan menggiringnya ke lorong-lorong gelap untuk sebuah kejutan di ujungnya. Dengan tensi ketegangan yang cukup terjaga, film ini berhasil menyuguhkan sebuah tontonan yang menyenangkan: mempertemukan eksotisme Jawa dengan kriminalitas global.
Sudut pandang "bule" jelas tak bisa menghindari munculnya sejumlah stereotip. Namun, film ini berani berfantasi tinggi, sehingga mampu menciptakan Jawa "alternatif" yang tak harus sesuai dengan "kenyataan". Misalnya, lewat penyosokan Sang Sultan yang digambarkan sebagai lelaki tua berambut gondrong yang dikuncir, dengan dandanan semi gotik, tanpa mahkota. Di sisi lain, prajurit kraton yang berkain dan berblangkon, beraksi dan tembak-tembakan layaknya jagoan Hollywood.
Stasiun Tugu, Pojok Beteng, perempatan Kantor Pos Malioboro memang tak bisa tidak akan membuat penonton mengenalinya sebagai Yogyakarta. Namun, bangunan-banguan art deco, rumah Hashim dengan loteng dan view-nya yang cantik, hingga Paradise Spa yang mengingatkan orang pada arsitektur zaman Kolonial merupakan usaha yang patut dipuji untuk menciptakan sebuah Jawa yang lain, yang dibayangkan sesuai maksud film ini.
Memasuki cerita dengan peristiwa pemboman, yang di Indonesia tahun-tahun belakangan ini telah nyaris menjadi berita sehari-hari, film ini akan mudah merebut hati penonton. Deretan nama-nama beken Hollywood yang dipertemukan dengan bintang-bintang lokal papan atas menjadi sensasi tersendiri. Dalam film mana lagi bisa menyaksikan Atiqah Hasiholan dimandikan di bath-up oleh Mickey Rourke?
Dan, kalau sejak awal ulasan ini menyebut-nyebut soal misteri, mungkin termasuk di dalamnya adalah adegan-adegan ketika Kellan Lutz telanjang bulat dan "berpose" di depan Ario Bayu, atau Ario Bayu yang membaringkan kepala Rio Dewanto di pangkuannya, hingga Mickey Rourke yang dengan sabar mengelap mulut bocah pria kampung yang belepotan makanan. Ah, Jawa memang (masih) penuh misteri!
(mmu/mmu)