Dari rangkaian surel itu kisal bermula. Seketika penonton ditarik masuk ke dunia Alana, pengirim surel berantai itu, dunia jetset yang gemerlap. Alana adalah satu dari tujuh anggota geng bernama The All-Access, yang memiliki apa saja yang mereka inginkan, termasuk alkohol dan narkoba.
'Loe Gue End' (LGE) dibuka dengan penuturan Alana (Nadine Alexandra) tentang The All-Acces dan semua anggotanya. Ada Timo (Dimas Beck) anak seorang mantan jaksa, seorang junkie yang kecanduan shabu-shabu, Fifi (Moudyzanya) seorang model cantik dengan banyak pemuja, tapi cintanya justru bertepuk sebelah tangan, Yosi (Martina Tesela) seorang guru taman kanak-kanak yang juga pecandu dan tak segan fly di depan murid-muridnya, Vira (Manohara Odelia) si gila belanja yang juga tergila-gila pada kecantikannya sendiri, Radit (Dion Wiyoko) seorang pekerja kantoran, satu-satunya yang tampak normal, Lina (kelly Tandiono) seorang lesbian, dan Alana sendiri, model, anak dokter bedah plastik terkenal yang tidak pernah mengenal ibunya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cerita tentang segelintir geng di Ibu Kota yang memiliki gaya hidup sedemikian rupa sudah cukup sering diangkat ke layar lebar. Namun LGE berbeda, saat misteri dan metafisika ikut mewarnai film kesepuluh besutan Awi Suryadi ini. Misteri dimulai saat Alana sering diteror bayangan seorang gadis berkulit gelap dan berambut lebat yang tiba-tiba muncul di hadapannya, namun sekejap kemudian menghilang. Teror terus menghantui saat Alana dan juga temannya menerima pesan singkat di ponsel mereka, berisi peringatan atas bencana yang akan terjadi. Fifi menjadi ‘korban’ pertama. Mereka yang tersisa sepakat untuk menyelidiki siapa sebenarnya pengirim pesan singkat yang mengaku bernama Santika itu.
Sejak awal, LGE menyuguhkan gambar-gambar yang memikat. Mulai dari wajah yang rupawan, fashion mutakhir, mobil-mobil keren, serta cara pengambilan gambar yang sangat dinamis, sejalan dengan ritme cerita. Saat Alana bercerita tentang Lina, misalnya, gambar di layar tiba-tiba membeku. Muncul grafis yang menjelaskan mengenai ekstasi, nama dagang, unsur dan bangun kimianya. Gambar beralih ke pabrik kecil milik Lina, disertai narasi Alana tentang bagaimana ekstasi dibuat hingga kemudian diedarkan.
Adegan sempalan itu sekilas tampak seperti ‘penyuluhan’ tentang narkotika, namun disajikan dengan sangat menarik, segar dan sama sekali tidak membosankan. Demikian juga saat Alana menceritakan tentang pil Happy Five. Gambar sebuah toko obat di Jepang, tempat pil dapat diperoleh secara bebas, terlihat sangat komikal, memberi warna tersendiri pada film ini.
Secara visual, film yang diadaptasi dari novel Zara Zettira ini tampil memikat. Walau kekuatan akting para pemain merata, sedang-sedang saja, namun gerakan kamera, sudut pengambilan gambar, penataan musik, dan hasil pengeditan yang disajikan layak diapresiasi lebih. Sementara, jalinan cerita yang cukup kuat di bagian depan, mulai kehilangan daya pikatnya saat misteri tentang Santika hampir terkuak. Kisah tentang astral projection dan dunia arwah terasa sangat tiba-tiba dihadirkan. Walau jalinan dengan cerita utama dibuat serapi mungkin, kehadiran dunia metafisik itu masih terasa kesenjangannya.
Demikian juga kemunculan Ibu Alana yang secara tiba-tiba yang menjadi pahlawan di akhir cerita. Di bagian ini, kekuatan film yang juga diproduseri oleh Zara Zettira ini tampak mengendur dan secara datar film ditutup dengan berkumpulnya kembali keluarga Alana yang insyaf dan ingin memulai hidup baru, seiring kesimpulan yang ditarik Alana “drugs don't bring me happiness.”
Anis Ardianti wartawan senior, pernah bekerja di beberapa media, kini freelance menulis ulasan film
(mmu/mmu)