'Lovely Man', Kesederhanaan Cerita adalah Kekuatannya

'Lovely Man', Kesederhanaan Cerita adalah Kekuatannya

- detikHot
Kamis, 10 Mei 2012 12:17 WIB
Jakarta - Akhirnya, 'Lovely Man' diputar juga di bioskop komersial. Film ini, bersama dengan 'The Raid' dan 'Mata Tertutup' adalah film favorit saya tahun lalu, yang baru bisa beredar di negeri sendiri tahun ini.

Sejauh ini, inilah film terbaik Teddy Soeraatmaja. Mungkin karena Teddy tidak memikirkan apa pun kecuali membuat film yang sesuai dengan hasrat keinginannya tanpa memikirkan beban lainnya. Film berbujet rendah ini awalnya direncanakan sebagai film pendek, dan sang sineas tak menyangka filmnya akan diterima sehangat itu oleh para pencinta film dalam dan luar negeri.

Film ini memfokuskan diri pada hubungan antara seorang banci bernama Ipuy alias Saiful(diperankan dengan apik oleh Donny Damara, yang kemudian menjadi aktor terbaik mengalahkan Andi Lau di Asian Film Award 2012, Hong Kong) dengan anaknya, Cahaya (Raihaanun). Sang putri, jilbaber yang masih SMA itu, rindu dengan ayahnya yang tak dijumpainya selama 14 tahun dan mendapatinya sedang “bekerja” di Taman Lawang .

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari premis itu saja kita sudah bisa menebak ketegangan dan konflik macam apa yang akan terjadi: ayah-putri, banci-jilbaber. Yang terkuat dari film ini adalah ceritanya yang simpel. Justru kesederhanaan ceritanya adalah kekuatannya. Plot tidak neko-neko, linear dan memenuhi syarat “tiga babak” dengan baik. Tidak ada semangat mengulur-ulur waktu (durasi film ini tak sampai 80 menit), atau diperumit.

Sekali lagi, kebersahajaan inilah kunci kekuatannya. Ceritanya menyeret penonton untuk peduli dengan Cahaya dan Ipuy, karakter utamanya: apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan sang anak dari dusun mendatangi ayahnya di ibukota? Penonton diajak untuk terlibat secara emosional dengan para tokoh di dalamnya—merasakan gejolak batin kedua tokoh utamanya. Misalnya, Cahaya yang terkejut menerima kenyataan ayahnya banci, dan Ipuy yang terkejut melihat kedatangan anaknya dan tidak siap dilihat sang anak dengan kondisi seperti itu.

Kontras antara waria vs remaja muslimah taat ini yang membuat ramuan genre melodrama bekerja baik. Namun, melodrama di sini, yang memang tujuannya untuk menguras air mata, tidak membuat film yang pertama kali diputar di Q Film Festival di Jakarta akhir Oktober 2011 ini menjadi cemen atau menye-menye, tetapi justru memperlancar pernyataan sang sutradara tentang makna keluarga (yang disfungsi) untuk saling menerima (dengan caranya yang getir). Apalagi dua karakter utamanya dalam cerita ini bermain dengan reaksi kimiawi yang begitu kuat dan saling melengkapi.

Film ini menggiring penontonnya untuk bersimpati pada GLBT (gay, lesbian, biseksual, transgender), tanpa harus menghakimi pihak manapun. Ia memandang banci sebagai manusia yang punya anak dan perasaan, berbeda dengan banyak film Indonesia yang memasang waria sebagai pelengkap-penyerta bahkan pelengkap-penderita yang memancing tawa belaka. Di saat yang sama, cerita di film ini juga memanusiakan jilbaber yang tak selamanya suci dan sempurna.

Menonton film ini, mau tak mau kita teringat pada 'Eliana, Eliana' (Riri Riza, 2004). Bukan bermaksud membandingkan, karena keduanya mempunyai ciri khas dan kekuatannya masing-masing. Keduanya berbicara soal masalah keluarga. Pada 'Eliana, Eliana', tokoh tama Eli kabur selama 4 tahun dan sang bunda menyusulnya; pada 'Lovely Man' Ipuy yang hengkang dan 14 tahun kemudian putrinya yang lugu mencarinya. Keduanya punya cerita yang kuat dan sederhana. Dan keduanya adalah kisah satu malam dan bernuansa road-movie. Jakarta yang ditampilkan di kedua film itu adalah Jakarta yang pinggiran dan kumuh, bukan yang selama ini terpampang di sinema kita yang serba glamor.

Kekurangan skenario ini adalah kurangnya istilah-istilah dari bahasa banci. Hal lemah lainnya, di bagian tengah, dialognya mulai preachy. Tapi, sebagai penonton saya tidak begitu mempermasalahkannya, karena tidak terlampau banyak.

Sebelum diputar di bioskop untuk publik Indonesia mulai hari ini, film ini sudah melanglang buana diputar di Busan International Film Festival, Bangalore International Film Festival (Desember 2011), World Film Festival of Bangkok, hingga Cinemasia Amsterdam. Selain berjaya di AFA (saat Andy Lau terkalahkan oleh Donny, dan Teddy masuk nominasi bersama sutradara kelas dunia Tsui Hark, Zhang Yimou dan Asghar Farhadi), 'Lovely Man' juga menang Best Director dan Best Film di Festival Film Palm Spring, Special Mention Awards pada Osaka Asian Film Festival 2012, Best Best Director di The Golden Reel Awards pada Tiburon International Film Festival 2012 San Francisco.

Ekky Imanjaya redaktur rumahfilm dan pengajar film di Binus International.

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads