Sesosok pria mencoba keluar dengan paniknya dari dalam liang itu. Ia kebingungan, tak tahu apa yang terjadi dan mengapa dirinya terkubur hidup-hidup. Ia pun merogoh-rogoh kantongnya, mencari informasi, sekecil apapun. Didapatinya sebuah telepon genggam, tapi ah, sial tak ada nomor kontak siapapun. Dan, segera nalurinya berupaya menelepon operator telepon, minta bantuan.
Saat ditanya, "Nama Anda siapa, Pak?", dia pun ternganga. Pria itu lupa ingatan, dan itu adalah kengerian pertama: seorang diri di hutan, tanpa tahu siapa dirinyaβkecuali foto keluarga dan kartu identitas yang sepertinya tak menolong apapun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Horor mencekam justru tidak dengan sebuah penampakan atau perwujudan suatu monster (apapun definisinya), tapi justru karena ketidaknampakannya. Di sini, efek suara βtapak kaki berjalan, angin malam, derit pintu-- menjadi sebuah hal yang menegangkan, karena imajinasi bekerja liar mengingat sang tokoh (dan penonton) tak bisa melihat apa pun.
Jika Anda berpikir bahwa "tanda tangan" Joko Anwar adalah adegan berlari-lari, maka mungkin inilah puncaknya, di samping aktivitas berat fisik lainnya. Pemeran utama film yang semua dialognya berbahasa Inggris ini adalah Rio Dewanto yang menjadi tokoh utama John Evans. Tapi ada "pemeran" utama lainnya: hutan tempat berlangsungnya aksi itu dan camera work.
Belantara itu menghadirkan dan membangkitkan suasana menegangkan yang begitu mendukung tujuan utama film ini: membuat penontonnya turut tegang dan ikut merasakan apa yang dialami sang karakter utama. Sedangkan kamera yang selalu bergerak-gerak hand-held membuat penonton tidak hanya merasa peduli dengan keselamatan tokoh utama dan nasibnya di ujung cerita, tetapi juga merasa berada di tempat yang sama dengan John. Bahkan mungkin merasa jadi John itu sendiri.
Menghadapi film ini, penonton bukan lagi tuhan yang serba tahu apa yang terjadi, melainkan tahu sebatas apa yang diketahui karakter utamanya. Dan di situlah daya cekam dan cengkram film ini.
Tak seperti 'Kala' dan 'Pintu Terlarang' yang barangkali dianggap terlalu berat atau intelektual oleh penonton awam, film berdurasi 87 menit ini lebih sederhana dan mudah dicerna, tanpa mengurangi daya kejut (twist) di beberapa tempat.
Maka, seperti kata Joko Anwar sendiri, semakin sedikit Anda mengetahui tentang film ini, semakin bagus. Alami sendiri atmosfirnya. Jadi, lupakan tulisan ini, lupakan resensi yang lain. Kosongkan pikiran Anda, dan siapkan diri untuk kejutan-kejutan. Dan, sepertinya, seperti yang saya alami, tidak cukup menonton sekali untuk memindai petunjuk-petunjuk "apa dan mengapa" yang kabarnya bertebaran dari awal film.
Ekky Imanjaya redaktur rumahfilm dan pengajar film di Binus International.
(mmu/mmu)