'Postcards from the Zoo': Menggapai Perut Jerapah

'Postcards from the Zoo': Menggapai Perut Jerapah

- detikHot
Rabu, 21 Mar 2012 13:36 WIB
Jakarta - Cita-cita Lana hanya satu: memegang perut jerapah. Tapi kehidupan menuntunnya ke sebuah tempat spa plus-plus. Ia menjadi tenaga pemijat setelah diberi pelatihan oleh seniornya dengan objek boneka pria seukuran manusia. "Nanti kalau orang beneran lebih mudah kok," ujar sang senior.

Lana (diperankan Ladya Cheryl) menerima pelajaran dengan ekspresi datar, polos, tanpa dosa. Seperti saat ia mengajak bicara harimau atau memberi makan jerapah, pekerjaan sehari-harinya sebelumnya. Sejak kecil, Lana memang dibesarkan di kebun binatang, oleh pria-pria yang bukan ayahnya. Dia melakukan hampir apa saja, dari menjadi "tour guide" para pengunjung hingga menjaga WC. Kadang-kadang dia naik wahana-wahana permainan sendirian, dengan tatapan mata kosong. Entah apa yang dipikirkannya.

Di malam hari ia main egrang, atau mengemudikan mobil putih bermoncong kera, keliling kebun binatang yang gelap dan sepi. Suatu hari, seorang pria muda ganteng berpakaian koboi muncul dan menyita perhatiannya berhari-hari. Sampai sebuah kesempatan mendekatkan mereka, dan mengakrabkan keduanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Si Koboi (diperankan Nicholas Saputra) menjadi dunia baru bagi Lana. Lebih-lebih, selain kostum koboinya yang aneh itu, ia juga memiliki keterampilan sulap yang membuat Lana terpesona. Hidup Lana menjadi sempurna ketika Si Koboi mengajaknya keluar dari kebun binatang. Hidupnya berubah. Tapi, ia tak melupakan cita-citanya: memegang perut jerapah.

Sesuai dengan judulnya, 'Kebun Binatang' (judul internasional 'Postcards from the Zoo'), film ini lahir dari obsesi pembuatnya, Edwin pada Ragunan, kebun binatang di pingiran Jakarta Selatan. Apa yang disebut cerita, alur, tokoh, mengikuti di belakang. Yang penting adalah lokasi itu sendiri, kebun binatang. Maka, jerapah, gajah, harimau, kudanil bukanlah objek gambar pelengkap dalam film ini, melainkan pemeran-pemeran utama.

Derajat mereka sama dengan manusia-manusia yang disorot Edwin, dari Lana, Si Koboi, para pawang, hingga para gelandangan yang numpang hidup di sudut-sudut rimbun kebun binatang itu. Dalam hal tertentu, binatang-binatang itu bahkan mungkin lebih "beruntung": mereka punya tempat, walau bukan habibat aslinya. Sedangkan, manusia-manusia yang disorot Edwin itu datang dan pergi tak tentu, bisa "terusir" kapan saja.

Lana yang akhirnya menerima tawaran untuk menjadi "tukang pijit" di tempat spa plus-plus itu, mungkin merasa bahwa selama ini dia tak ubahnya jerapah yang disayanginya: sama-sama salah tempat. Demikian juga dengan Si Koboi yang muncul tiba-tiba, kemudian juga menghilang begitu saja, meninggalkan Lana dan mobil putih bermoncong kera yang dikemudikannya menyusuri Ragunan pada malam hari.

Begitulah, dalam film ini, cerita tidak berjalan dan berkembang dalam logika alur yang lumrah (baca: konvensional). Gambar demi gambar hadir sebagai potongan-potongan informasi yang harus disusun kembali untuk memaknainya. Proses yang melatari keputusan dan perilaku tokoh tidak pernah dijelaskan. Pertemuan antara Lana dan Si Koboi dengan pemilik spa misalnya, awalnya hanya tergambar dalam adegan diam di sebuah rumah makan padang.

Pada gambar berikutnya, kita sudah menyaksikan Lana dan Si Koboi berada di spa itu, mendengarkan pidato sang pemilik. Awalnya keduanya direkrut untuk memberi atraksi hiburan pada tamu-tamu spa. Tapi, setelah Si Koboi menghilang begitu saja, pada gambar berikutnya kita langsung dihadapkan pada kenyataan lain, bahwa Lana sudah bergabung sebagai tenaga pemijat.

Manusia-manusia dalam film ini tidak hanya tak punya sejarah dan identitas (Si Koboi bahkan tak punya nama, Lana tak pernah memanggil namanya, dan pemilik spa memangilnya dengan Mas Koboi), tapi juga seolah tak digerakkan oleh motif tertentu, dan oleh karena tak punya (setidaknya kita tak tahu) masa depan(nya). "Pembelokan" dari dunia kebun binatang ke tempat spa plus-plus itu cukup mengejutkan, dan membuat penonton sibuk mereka-reka korelasinya, kalau memang ada.

Dengan dialog dan interaksi antartokoh yang minim, salah satu cara paling "mudah" untuk mendekati film ini adalah dengan membacanya sebagai "pelajaran filsafat" tentang eksistensi. Dengan memparalelkan dunia kebun binatang dengan tempat spa plus-plus, siapa kita sebenarnya? Siapa yang lebih "salah tempat"? Bahkan, mungkin, kalau mau lebih "kasar" lagi: siapa yang lebih binatang?

Tak pelak, film ini memang cukup mengganggu dan mengusik ketenangan jiwa kita. Gambar-gambar yang memberi kesan kehidupan yang serba sunyi dan melow cukup menyakitkan dan menyiksa. Bagaimana rasanya tumbuh besar di kebun binatang, ngobrol sama harimau dan cita-cita terbesarnya hanyalah memegang perut jerapah?

Silakan Anda menyaksikan dan merasakannya sendiri film yang kaya dengan mozaik visual ini. Film ini akan diputar perdana di Studio 1 XXI TIM, Jakarta, Rabu (21/3/2012) pukul 18.30 WIB dengan donasi Rp 200 ribu. Untuk pemutaran selanjutnya, yang digelar setiap pukul 19.30 WIB di tempat yang sama hingga 31 Maret, donasi ditetapkan sebesar Rp 100 ribu.

Pemutaran tersebut merupakan bagian dari acara Bulan Film Nasional 2012 yang digelar oleh Kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Menurut panitia, sistem donasi diberlakukan untuk menggalang dana guna pemutaran "Postcards from the Zoo" selanjutnya keliling Indonesia.

Film ini sebelumnya telah masuk seleksi Golden Bear, penghargaan tertinggi di Berlin International Film Festival (9-19 Februari), bersaing dengan 17 film lainnya dari seluruh dunia. Setelah itu, film ini juga masuk seleksi World Narrative Feature Competition di Tribeca Film Festival 2012 di New York (18-29 April).
(mmu/mmu)

Hide Ads