Oh, tentu saja tidak hanya kapal vintage yang mereka temukan tapi juga makhluk misterius yang terperangkap di sebuah balok es. Dan setelah balok es itu dibuka, makhluk yang mirip laba-laba itu kemudian berlari dan menghilang. Satu per satu anggota tim itu pun mulai diserang oleh makhluk misterius yang setelah diamati secara seksama bisa masuk ke dalam tubuh manusia. Upaya menyelamatkan diri pun menjadi lebih sulit, karena salah satu dari mereka bisa saja adalah musuh yang sedang mereka hindari.
Hollywood memang benar-benar sudah kekurangan ide. Kalau tidak sekuel, mereka hobi mengadaptasi buku, komik, novel grafis atau bahkan game. Kemudian, kalau sudah buntu, mereka akan segera menengok ke belakang untuk mencari apa saja yang bisa di-remake --bisa film bagus dari luar negeri atau produksi Hollywood sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
'The Thing' memang tak buruk-buruk amat. Sebagai film modern, film ini benar-benar menunjukkan keadidayaannya dalam bidang teknologi. CGI-nya sangat mengagumkan, terutama saat memperlihatkan bentuk monster dengan tentakel, sulur dan kondisi korban yang mengenaskan. Tambahan, tokoh wanita dalam film ini juga merupakan penyegar karena film aslinya isinya cowok semua.
Mary Elizabeth Winstead yang menjadi pemeran utama mempunyai kharisma sangat kuat. Tanpanya, 'The Thing' mungkin akan menjadi lebih garing. Setelah menghindari maut di 'Final Destination 3', menjadi anak Bruce Willis dalam 'Die Hard 4.0' dan menjadi pacar Michael Cera dalam 'Scott Pilgrim vs. The World', Winstead tahu benar bagaimana cara bertahan hidup di Antartika ala Ripley dalam 'Alien'. Sigourney Weaver jelas menjadi mentornya di sini.
Selain Winstead, sepertinya tidak ada lagi karakter yang membuat kita peduli terhadap nasib mereka, mau mati apa selamat. Joel Edgerton, sebagai salah satu tokoh sentral tampil gitu-gitu saja, kurang menggigit. Sayang sekali, padahal kalau dia bisa mengimbangi permainan Winstead, 'The Thing' mungkin akan mempunyai nilai lebih.
Memang tidak adil menghakimi 'The Thing' yang tampil cukup mantap setelah beberapa tahun kita disuguhi tontonan horor remake yang hambar, kalau tak mau dibilang basi. 'The Thing', apapun itu bentuknya, masih memiliki cara bertutur yang enak dilihat, ketegangan yang tertata dan klimaks yang oke. Tapi, kalau disuruh memilih, mendingan nonton versi Carpenter yang asli ketimbang versi baru yang lebih canggih dan mahal tapi miskin ketegangan. Bukankah itu yang kita cari saat menonton film horor?
Candra Aditya, penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)