Kalyana Shira Foundation, sebuah yayasan yang didirikan salah satunya oleh Nia Dinata menciptakan sebuah wahana produksi dokumenter bernama Project Change. Dimulai pada 2008, Project Change mengundang para pembuat film dokumenter untuk mengirim proposalnya, dan mengikuti program lokakarya untuk memproduksi dokumenter pendek di bawah 30 menit. Beberapa pembuat film terpilih untuk mengeksekusi gagasannya.
Pola 'lokakarya' seperti itu bukanlah hal yang baru mengingat Eagle Award, Indocs atau JiFFest juga melakukannya. Bedanya, Project Change ditujukan untuk pembuat film semi-profesional (bukan amatir, bukan pembuat film pertama) maupun profesional karena keluaran yang diharapkan adalah antologi dokumenter dengan standar produksi, dan 'cukup standar' industri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di putaran kedua lokakarya ini, lima pembuat film terpilih untuk mewujudkan gagasannya. Maka terciptalah 'Working Girls' pada 2010 yang terdiri dari tiga film: '5 Menit lagi... Ah...ah...ah' (Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari), 'Asal Tak Ada Angin' (Yosep Anggi Noen), dan 'Ulfie Pulang Kampung' (Daud Sumolang & Nitta Nazyra C. Noer). Berbeda dengan pembuat film di 'At Stake' yang umumnya berangkat dari tradisi dokumenter, pembuat film di antologi ini telah membuat film fiksi sebelumnya.
Film pertama di antologi ini, '5 Menit lagi... Ah...ah...ah' dibuat oleh dua perempuan yang telah bekerjasama sebelumnya dalam sebuah film yang menjadi hits di lingkaran film independen, yakni 'Cin(T)a'. Sebagai film dengan tema yang menyenangkan banyak orang, dokumenter ini mengikuti seorang penyanyi dangdut kecil bernama Ayu Riana yang tinggal di Bandung.
Hubungan Ayu Riana dengan orang tua, karier setelah kemenangannya dalam sebuah kontes dangdut, serta hubungannya dengan 'ayah angkat'-nya yang ganjil serasa mengingatkan kita pada dongeng Lolita. Karakter Ayu dalam film ini bagai dongeng puluhan gadis kecil di negeri ini yang dengan berat hati harus menanggung beban emosional dan kehidupan orang-orang di sekitarnya –dengan menjadi terkenal.
Dokumenter ini membuktikan bahwa Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari adalah pembuat film dengan bakat storytelling yang baik (mungkin paling baik di antara tiga film ini). Namun dalam film, storytelling saja tidak cukup. Dalam banyak hal, kualitas teknis film ini menghalangi pesan film tersampaikan dengan baik. Kualitas teknis di sini menyangkut kualitas perekaman suara yang tidak terlalu bagus dan kualitas gambar yang mungkin agak jauh dengan standar 'industri' dokumenter internasional. Selama ini telah beredar mitos bahwa dokumenter adalah film dengan gambar yang buruk. dan film ini belum bisa meruntuhkan mitos itu sepenuhnya.
Film kedua, 'Asal Tak Ada Angin' adalah karya Yosep Anggi yang selama ini telah aktif dengan komunitas/rumah produksi 56 Film. Anggi berusaha mencari kualitas puitik dari kemiskinan para seniman ketoprak tobong di Prambanan, Yogyakarta. Tanpa jatuh pada tuntutan pesan sponsor untuk mengetengahkan kemiskinan dan perempuan, Anggi cukup berhasil menggambarkan hal-hal banal dalam hidup sehari-hari orang miskin –tanpa perasaan simpati ala agen-agen pendana atau pun nostalgi.
Film ini memang terlalu panjang. Mungkin Anggi bisa memotongnya dalam beberapa adegan. Tapi tulisan ini tidak ingin menjadikan penulisnya editor/sutradara, maka satu hal yang bisa dilihat dari film ini adalah ketegangan antara kata-kata dan gambar, antara retorika dan pengamatan. Kita bisa melihat jejak-jejak penyutradaraan dan gaya visual Anggi di film ini.
Film pendeknya, macam 'Hujan Tak Jadi Datang', memperlihatkan gayanya yang lebih kontemplatif, dengan kamera yang lebih banyak bergerak pelan bahkan diam. Kata-kata seolah datang hanya sebagai pelengkap. Yang tak terkatakan jauh lebih penting daripada yang dikatakan. Dalam studi tentang seniman-seniman ketoprak tobong ini, ada hal-hal yang tak terkatakan, dan yang paling penting, ada hal-hal yang tak terlihat yang justru lebih penting dari hal-hal terlihat dalam film.
Kenyataan bahwa ada komunitas seniman yang begitu miskinnya di tengah 'mitos' kemakmuran rakyat Jawa itu sendiri telah menyinggung perasaan. Juga bagaimana gaya hidup mereka yang berbeda dengan yang lain telah menjadikan mereka benar-benar terasing. Bahkan, proyek pembangunan pun tak akan pernah mampu mencapai dan menjelaskan kemiskinan dan kesunyian mereka.
Film ketiga, 'Ulfie Pulang Kampung' oleh Daud Sumolang dan Nitta Nazzyra C.Noer mengambil lokasi di hotspot Indonesia, yakni Aceh. Film ini bercerita tentang seorang transeksual bernama Ulfie yang ingin menyambangi kembali keluarganya di Aceh. Film ini sangat lugas. Tanpa basa-basi dan puisi, segera membawa kita pada perjuangan Ulfie dari seorang transeksual tanpa daya menjadi seorang teladan bagi komunitasnya. Ceritanya agak Hollywood dan oleh karena itu memiliki potensi besar untuk menarik simpati penonton.
Gaya perjalanan yang ditempuh oleh Ulfie memudahkan sutradaranya menyiasati plot. Dalam banyak hal, emosi menempati posisi yang penting sehingga kita mau tak mau bersimpati pada tokoh utamanya. Proses identifikasi begitu mudahnya karena kita melihat Ulfie sebagai korban yang bertahan. Ia adalah tipikal cerita zero to hero. Namun, ia tidak berhadapan dengan cinta yang gagal atau pernikahan beda kelas macam film-film Hollywood. Ia berhadapan dengan prasangka gender, penyakit AIDS, kemiskinan dan persoalan-persoalan penting dari negara dunia ketiga lainnya.
Keanekaragaman cara tutur adalah salah satu kekuatan film 'Working Girls'. Masing-masing sutradara memiliki dan mengembangkan gaya personal mereka. Namun persoalan justru muncul dari wilayah teknis. Secara umum, film ini terasa inferior dalam hal eksekusi produksi dan terutama cara bertuturnya. Cara bertutur tentu saja tak hanya menyangkut bagaimana plot dibangun atau informasi ditanamkan dalam adegan-adegan, tapi bagaimana cerita disampaikan.
Teknis juga bukan semata soal membuat gambar lebih bagus atau merekam suara dengan lebih jelas. Namun, bagaimana mendekati subjek dan persoalan dengan cara lain, dengan gaya yang tidak didikte oleh gaya-gaya yang telah ada, dengan mencari kemungkinan-kemungkinan estetik baru dalam merepresentasikan persoalan kemanusiaan –di mana pun tempatnya.
(mmu/mmu)