Film 'Super 8' kini menduduki tangga teratas film laris di Amerika Serikat. Nama produsernya, Steven Spielberg adalah satu hal yang membuat film ini mendapatkan gaung publikasi dan promosi yang sangat besar. Film ini sendiri disutradarai oleh JJ Abrams yang telah memproduser film seperti 'Cloverfield' (2008) atau pun 'Star Trek' (2009). Dengan rekam karya yang seperti ini, penonton tentunya datang dengan antisipasi untuk melihat film yang wah, lengkap dengan cerita dan efek visual serta suara yang serba raksasa.
Dan untunglah, antisipasi penonton itu terjawab. Film 'Super 8' mungkin mengambil cerita yang bisa dikatakan biasa, namun akhirnya bisa dieksekusi dengan relatif bagus. Ohio, 1979. Joe Lamb adalah seorang anak yang baru kehilangan ibunya dalam kecelakaan. Ayahnya, Jack adalah kepala polisi daerah (sheriff). Joe membantu teman-temannya yang dipimpin oleh sutradara gendut dan ambisius bernama Charles membuat film pendek dengan kaset super 8 guna mengikuti sebuah festival film. Film itu sendiri bercerita tentang seorang detektif yang ingin memecahkan misteri mayat hidup (zombie) yang bergentayangan di daerahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ledakan rangkaian kereta segera diikuti kejadian-kejadian aneh yang terjadi di kota Ohio. Jack Lamb menjadi penanggung jawab usaha pencarian dan penanganan bencana itu. Sementara hubungan antara Joe dan Alice semakin dekat, ayah Alice, Louis yang menabrak ibu Joe dan Jack semakin tidak menyukai hubungan kedua remaja itu. Namun mereka berdua nekad, apalagi setelah kejadian demi kejadian aneh terus berdatangan.
Dengan bantuan seorang penjaga toko film, Charles dan Joe bisa melihat hasil rekaman peristiwa ledakan di stasiun. Mereka melihat 'seekor' makhluk aneh menghancurkan berbagai bangunan, menarik anjing-anjing untuk datang, serta membuat besi-besi berterbangan. Kota pun mulai ricuh. Kekuatan militer mengambil alih dan memaksa semua penduduk melakukan evakuasi. Dalam keadaan genting, kelompok ini pun bertekad memecahkan misteri yang melanda kota. Dengan iming-iming kakaknya yang cantik dan seksi, Charles meminta penjaga toko untuk mengantar mereka ke sekolah. Ternyata di sekolah inilah, semua rahasia mengenai serangan dan makhluk aneh itu terjawab.
Film ini diakhiri dengan babak cerita yang tidak meyakinkan. Hal ini cukup disayangkan mengingat film telah dibangun dengan isyarat-isyarat dan plot yang menggembirakan. Permainan aktor anak-anak juga begitu alami sehingga komedi-komedi yang mereka sampaikan begitu natural. Namun di atas semua itu, kualitas teknis film ini memang menjadi jualan utama. Proses ledakan, serta kekacauan di kota yang dibangkitkan oleh makhluk aneh ini ditangani dengan ketrampilan teknis dan sinematografis yang luar biasa. Gambar-gambar hasil rekayasa komputer berterbangan dan berlarian di layar, memberinya kualitas kinetik yang diperlukan. Percampuran genre (drama keluarga, komedi, thriller, dan science fiction) semakin memberi bobot bagi film yang sejatinya semata-mata untuk hiburan.
Kalau pun bisa dilihat lebih dari sebuah hiburan, film ini menggunakan referensi sejarah psikologi Amerika, terutama dengan perang Vietnam dan komplek industri militer yang menguasai alam bawah sadar Amerika hingga kini. Mungkin orang akan heran betapa anak-anak Amerika telah begitu dibiasakan dan akrab dengan segala bentuk militerisme dan kekerasan. Namun begitulah, film seperti ini bisa menjadi dua sisi dari sebuah pisau: dia bisa jadi hiburan namun juga sosialisasi kekerasan. Dan untuk hal seperti ini, Hollywood masihlah tak terkalahkan.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
(mmu/mmu)