Di saat bioskop Indonesia kering suplai film Hollywood, film-film horor dan remaja Thailand diam-diam memadati layar–dan tentunya pasar DVD bajakan. Dibandingkan Indonesia, produksi film Thailand sebenarnya tidak beda jauh. Pada 2009, industri film Thailand memproduksi 51 judul film, namun setahun sebelumnya, Thailand hanya mampu membuat 15 judul film.
Namun demikian, film-film komersial maupun seni Thailand mampu menembus teritori geografis dan diapresiasi penonton di luar negaranya. Kita di Indonesia telah begitu akrab dengan genre horor Thailand dengan film seperti ‘The Shutter’ (2004) atau ‘Alone’ (2007). Di kalangan penonton yang lebih serius, nama Apichatpong Weerasathakul dengan film terbarunya macam “Uncle Boonme Who Can Recall His Past Lives’ (2010) memenangkan Palm D’Or di festival film Cannes.
Kini perfilman komersial Thailand sedang getol-getolnya menggarap film remaja. Setelah kesuksesan film ‘Fan Chan’ (My Girl, 2003) , ‘Kuan Muen Ho’ (Hello Stranger, 2010, dibuat oleh studio yang membuat ‘Suckseed’, GTH), ‘Sing Lek Lek Thee Riak Wa Rak’ (A Little Thing Called Love, 2010), film ‘Suckseed’ menggunakan musik untuk menyampaikan cerita soal remaja. Ceritanya agak klise, yakni tentang cowok-cowok pecundang yang main musik untuk mendapatkan cewek idamanya.
Ped (Jirayu La-ongmanee) berteman dengan Ern (Natcha Nualjam) sejak kecil. Suatu saat, Ped dan orang tuanya pindah ke Bangkok. Ia pun mulai nongkrong dengan temannya, Koong (Patchara Jirathiwat) dan eX (Thawat Pornrattanaprasert). Dengan bakat yang bisa dikatakan sangat minimal, mereka mencoba memikat Ern dan cewek-cewek lain di sekolah. Ern sendiri juga telah di Bangkok dan menjadi seorang gitaris yang handal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengalaman menjadi remaja dan menjadi pecundang memang sesuatu yang tampaknya bersifat universal. Perasaan galau, terlalu percaya diri, atau cinta adalah perasaan-perasaan yang dialami oleh hampir semua remaja. Dan bagi remaja zaman sekarang –di mana pun lokasinya– perasaan-perasaan seperti ini dengan mudah diwakili oleh media yang bernama musik populer.
Film ini sendiri, menurut sutradaranya, Chayanop Boonprakob mencoba mengangkat nostalgia universal masa-masa sekolah. Diangkat dari proyek film pendeknya di Universitas Chulalongkorn, cerita awal film ini berangkat dari sebuah band yang mengunggah videonya ke Youtube hingga sebuah perusahaan rekaman mengundang mereka tampil di sebuah festival. Cerita kontemporer yang sekarang kita lihat, misalnya, dalam kasus Justin Bieber atau di Thailand, Wonder Gays.
Meski demikian, sebagai film populer, ‘Suckseed’ merupakan film komersial yang berhasil meski durasi film yang cukup panjang (130 menit) bisa membuat orang bosan (tak menyebut, subplot yang terlalu banyak dan memakan waktu). Dibandingkan film-film Indonesia sejenis yang tampak terlalu pretensius dan berat oleh pesan-pesan moral (bahkan kesedihan), keceriaan dan keluguan remaja yang ditampilkan film ‘Suckseed’ ini bisa jadi hiburan tersendiri.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
(mmu/mmu)