Â
Dengan naskah yang ditulis oleh Seth Rogen (yang sekaligus berperan sebagai tokoh utama Britt Reid) dan Evan Goldberg berdasarkan sandiwara radio berjudul sama yang disiarkan pada 1936, Gondry bermain-main dengan jenis film komersial yang mengandalkan aksi dan laga, plus piranti 3D dengan dialog-dialog film yang mendekati deskripsi kata tolol, serta trik-trik kamera dan properti film yang sangat ganjil.
Â
Kegemaran Gondry pada teknologi sangat terlihat pada film yang bercerita tentang seorang anak manja dan playboy bernama Britt Reid. Setelah ayahnya meninggal, Reid mewarisi kebesaran perusahaan surat kabar The Daily Sentinel. Tanpa gambaran dan gagasan tentang masa depan dirinya, apalagi The Daily Sentinel', ia menghabiskan banyak waktu untuk berpesta dan memecat staf rumah tangga istananya. Namun, kehidupannya berubah ketika staf ayahnya, Kato (dimainkan oleh bintang Taiwan Jay Chou) menunjukkan padanya mesin pembuat kopi buatannya sendiri.
Kato ternyata memiliki sejuta talenta dan kemampuan untuk mewujudkan seluruh impian kanak-kanak Reid. Bagi jiwa labil Reid, Kato mampu membangkitkan adrenalin dan fantasi-fantasi bodoh yang ada di pikirannya. Ia pun mengganti hari-harinya dari pesta menjadi perusak patung ayahnya, hingga kemudian, demi memberi arti hidupnya yang sia-sia, ia berubah menjadi pahlawan kebenaran dan menghancurkan kejahatan, dengan julukan 'The Green Hornet' (Lebah Hijau).
Â
Keisengan itu berakibat fatal. Bukan saja karena Reid menggunakan surat kabar ayahnya untuk membuat dirinya dan Kato menjadi selebriti, namun preman penguasa kota Los Angeles, Chudnofsky/Bloodnofsky (dimainkan secara luar biasa oleh Christoph Waltz) mulai merasa sepak terjang The Green Hornet mengganggu bisnisnya. Tak pelak, The Green Hornet a.k.a Britt Reid dan sidekick-nya, Kato mesti berjuang keras untuk menghadapi ancaman dari Chudnofsky dan rekan-rekannya.
Dibandingkan film-film Gondry lainnya seperti 'The Eternal Sunshine of the Spotless Mind' atau pun 'Be Kind Rewind', film ini tentu jauh lebih komersial. Ada studio Columbia di belakangnya. Namun, dengan gaya visualnya yang khas serta kegemarannya pada teknologi yang kadang tampak antik, Michel Gondry berhasil membawa film action superhero seperti 'The Green Hornet' ini menjadi film komedi yang menyenangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Â
Jay Chou yang telah membangun basis fans yang cukup besar di Asia menunjukkan permainan yang tak mengecewakan, meski penonton berbahasa Inggris akan merasa aneh dengan aksennya. Kehadiran bintang drama Cameron Diaz bisa jadi hanyalah sebagai gula-gula mata, namun tanpanya film ini bisa berakhir menjadi upaya sia-sia untuk meyakinkan bahwa hubungan Reid dan Kato bukanlah homoseksual.
Secara keseluruhan, film ini ditulis dengan kesadaran diri akan kebodohan genre film action Hollywood. Dengan dialog-dialog yang nakal dan nyinyir menyindir, serta karakterisasi yang sungguh-sungguh menggelikan, 'The Green Hornet' bukanlah karya terbesar Michel Gondry. Namun demikian, ia membuktikan bahwa menjadi komersial tidaklah selalu berarti sebuah kegagalan.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
(mmu/mmu)