Meneruskan cerita yang diadaptasi dari buku CS Lewis dengan judul yang sama yang ditulis pada 1950, Lucy dan Edmund Pevensie kembali ke Narnia bersama sepupu mereka, Eustace Scrubb dan bertemu Prince Caspian dalam sebuah perjalanan dengan kapal kerajaan, The Dawn Treader. Prince Caspian berusaha mencari tujuh lord dari Telmar yang disingkirkan setelah Miraz mengambil alih kekuasaan. Dalam perjalanan panjang dan berbahaya ini Prince Caspian, Lucy, Edmund dan awak kapal The Dawn Treader menghadapi banyak tantangan dan ancaman dari berbagai pihak hingga berakhirnya perjalanan mereka di Negeri Aslan.
Dibandingkan film-film sejenis, film Narnia ini bisa dibilang memiliki cerita yang tidak terlalu istimewa, bahkan bisa dibilang terlalu membosankan. Namun, dalam seri ketiga petualangan Pevensie bersaudara ini, sang sutradara berhasil mengatasi skenario yang biasa itu menjadi tontonan penuh petualangan dan gambar-gambar yang indah. Penggunaan teknologi 3D dimanfaatkan dengan sangat maksimal, terutama dalam adegan-adegan perkelahian. Pemilihan lokasi sangat cocok dengan tuntutan film 'The Narnia' sebagai sebuah dongeng-petualangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, karakter terkuat dalam film ini justru bukan datang dari para protagonis, melainkan dari sosok Eustace yang mulanya sangat menyebalkan dan jahat namun kemudian menjadi seorang anak yang cukup jujur dan baik. Perubahan karakter inilah yang agaknya menjadi salah satu pesan moral film yang tak jauh dari ide-ide Kristen penulis CS Lewis. Seperti ucapan Lucy, "Kita tidak memiliki apapun kecuali kita percaya" (We have nothing if we don’t believe). Film ini pada akhirnya tetap menjadi sebuah tontonan yang menghibur yang sepertinya akan mendorong produksi film ‘The Chronicles of Narnia’ selanjutnya.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini bekerja sebagai kurator film.
(mmu/mmu)