Memasang Tera Patrick, bintang film dewasa Amerika Serikat, sebagai salah satu tokoh utama bukanlah menjadi kebutuhan film itu sendiri. Melainkan, alat pemasaran yang dirasakan cukup ampuh menaklukkan pasar film Indonesia yang sedang jenuh.
'Rintihan Kuntilanak Perawan' bercerita tentang seorang perempuan bernama Alice (dimainkan oleh Tera Patrick) yang tinggal bersama sepupunya, Lily (dimainkan oleh Angel Lelga). Pada suatu malam, mereka bertandang ke kafe milik pacar Lily, Mike. Di kafe tersebut, sebuah band yang beranggotakan empat laki-laki muda, The Keren’s Band, sedang berjuang untuk menjadi besar. Salah satu anggota band mendekati Alice, dan Alice pun diajak oleh rombongan band itu ke suatu tempat yang misterius.
Lily pun pulang ke rumah. Keesokan harinya, Alice mulai berubah. Ia kemudian menjadi pembunuh keji yang membidik mangsa-mangsanya di kafe milik Mike. Satu per satu laki-laki yang terpikat dengannya, termasuk manajer The Keren’s, terbunuh secara sadis di tangan Alice. Lily sendiri selalu dihantui oleh kuntilanak di rumahnya yang besar bak istana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Motif perempuan yang disakiti kemudian balas dendam tetap diulang, tanpa memberi makna dan perubahan baru dalam cerita. Namun, film ini menghadirkan situasi yang menarik bukan hanya di resepsinya, di mana orang-orang yang menamakan dirinya ‘penjaga moral bangsa’ menganggapnya sebagai sampah pornografi namun juga di dalam cerita, karena hampir semua laki-laki yang ditampilkan dalam film tidak memiliki gambaran positif sedikit pun, kecuali Mike.
Film ini berakhir dengan drama yang mungkin hanya karakter perempuanlah yang memahaminya karena tak satu pun dialog terucap tentang apa yang sebenarnya terjadi ketika Alice ‘diculik’ oleh The Keren’s (tak adakah nama band yang lebih norak daripada ini?).
Menonton film ini tak beda dengan menonton film-film eksploitasi tahun 1990-an macam 'Kenikmatan Terlarang' (2006) dan 'Puncak Kenikmatan' (1997). Apalagi konteks produksi film-film eksploitasi ini hampir sama. Film-film itu dibuat pada akhir periode Orde Baru ketika penguasa melakukan sensor yang sangat ketat pada seksualitas dan terutama isu-isu politik yang dianggap subversif.
Sedangkan, film-film seperti 'Rintihan Kuntilanak Perawan' ini dibuat pasca-pengesahan UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi serta menguatnya penguasa dan kekuatan-kekuatan masyarakat untuk menertibkan moral dan seksualitas perempuan. Film-film ini juga hasil dari sebuah periode di mana produksi film-film bermutu mulai turun dan penonton mulai jenuh dengan jenis-jenis film yang dibuat oleh pembuat film Indonesia.
Perusahaan pembuat film ini, K2K Production adalah perusahaan film yang didirikan pada 2006 yang film pertamanya, 'Genderuwo' (2007) oleh Sinema Indonesia dikatakan disunting dengan 'powerpoint'. Ejekan itu sayangnya tidak membuat perusahaan tersebut menghentikan film-film 'low brow' yang dibuatnya. Semakin banyak hinaan, semakin besarlah tekad mereka untuk membuat film-film dengan budget rendah dan keuntungan yang cukup besar.
K2K Production bukanlah satu-satunya perusahaan yang membuat film seperti itu. Namun, seperti yang telah diperlihatkan sejarah, produksi film-film seperti 'Rintihan Kuntilanak Perawan' ini hanya akan jadi sebuah pertanda pada kembalinya masa surut perfilman nasional yang dibangun di atas fondasi industri yang rapuh.
Veronika Kusumaryati, belajar di Departemen Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah salah seorang pendiri Klub Kajian Film IKJ. Kini ia bekerja sebagai kurator film. (mmu/mmu)