Dan pahlawan kita kali ini adalah seorang guru muda yang tampan bernama Rahul. Ketika dia muncul sebagai guru baru di sekolah asrama Swaraswati Vidya Mandir, kita langsung setengah putus asa mendesah, "Aaahhh...sinetron!" Apalagi, seorang guru perempuan yang seusia dengannya, dan salah satu murid cewek yang paling cantik, terlihat langsung terpikat padanya.
Tapi, alur ternyata berkembang agak di luar dugaan. Yang mesti dihadapi oleh Rahul berikutnya bukanlah perempuan-perempuan yang memperebutkan perhatiannya, melainkan ketidakberesan yang menyelubungi perguruan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah itu, perlahan-lahan, dengan intensitas yang makin enak diikuti, lapis demi lapis misteri pun terkuak. Ternyata sekolah swasta bergedung tua itu tengah menghadapi kesulitan keuangan. Kepala sekolah mendapat desakan dari pemilik modal agak bisa menarik keuntungan lebih besar dari murid-murid. Kalau tidak, pihak pemodal akan menutup sekolah itu.
Rahul (Shahid Kapur) yang sejak awal memang mendapat tempat di hati murid-murid, dari SD hingga SMU, berhasil menghimpun kekuatan untuk melancarkan demo mogok guna meminta kejelasan sikap kepala sekolah. Aksi itu mendapat liputan luas media massa dan menjadi isu nasional yang menggemparkan.
Pada momen-momen yang menegangkan dan menentukan, film ini dengan powerful mengaduk emosi penonton. Dengan dunia sekolah sebagai panggung utama, film ini menyingkap berbagai persoalan sosial masa kini, dari industri televisi yang mengambil-alih peran pendidikan anak-anak hingga kegilaan kita pada 'brand'. Apa yang selama ini kita sebut sebagai komersialisasi dunia pendidikan mendapatkan terjemahannya yang sangat baik.
Sayangnya, secara umum, film ini agak gagap mendiskripsikan situasi-situasi konfliknya. Apa yang dilakukan kepala manajemen dengan mengambil-alih kewenangan kepala sekolah misalnya, terasa tidak realistis. Puncaknya, semua konflik itu kemudian diselesaikan dengan sangat gampang dan digantung begitu saja tanpa kita ketahui dengan jelas solusi dan kesudahannya. Yang tersisa hanyalah haru-biru pada sosok seorang guru yang sangat berdedikasi, yang dengan sedih harus menatap perubahan zaman.
Sama-sama mengangkat tema pendidikan, dibandingkan dengan "3 Idiots" yang menghebohkan beberapa waktu lalu (dan sampai sekarang masih diputar), Paathshaala kurang menggarap sentuhan humornya. Sehingga terasa film ini sangat melodramatik.
Dari sisi hiasan koreografi dan lagu pun tidak istimewa. Dan tidak ada bumbu kisah cinta sama sekali. Guru muda Anjali (Ayesha Takia) yang cantik itu tidak mendapat porsi yang seimbang, demikian juga dengan siswi yang sejak awal naksir Rahul, dalam perkembangannya hilang dari cerita. Tapi ini memang bukan kisah cinta, seperti kita duga pada awalnya.
Betapa pun, dengan segala kelemahan eksekusinya, film ini menawarkan bahan perenungan yang penting dan serius, tentang salah satu akar persoalan sosial masyarakat modern di negara-negara dunia ketiga dengan jumlah penduduk yang sangat besar seperti India dan Indonesia.
Mumu Aloha: pengulas film
(iy/iy)