'The Lion King': Simba Versi Baru Ternyata Letoy

'The Lion King': Simba Versi Baru Ternyata Letoy

Candra Aditya - detikHot
Minggu, 21 Jul 2019 10:48 WIB
Foto: The Lion King (imdb)
Jakarta - Ini adalah tugas yang berat bagi Jon Favreau. The Lion King bukan sekedar film animasi. Ini adalah sebuah warisan leluhur yang harus dijaga. Animasi Disney yang satu ini tidak ada memberikan kita lagu-lagu yang catchy, animasi yang spektakuler tapi juga sebuah kisah yang sangat powerful. Sebuah film keluarga yang memperkenalkan konsep legacy, kematian, nasib, power, keserakahan dan aktualisasi diri. Sangat Shakespeare, sangat dramatis. Tapi semuanya disajikan dengan warna-warna yang memabukkan yang akhirnya menjadikan The Lion King sebagai film animasi 2D terlaris sepanjang masa (hampir satu milyar dollar dari pendapatan tiketnya di seluruh dunia dan film ini dirilis pada tahun 1994).

Ini bukan pertama kalinya Favreau melaksanakan tugas berat. Dia sudah melakukannya dua kali dan dua-duanya melahirkan dua produk yang sangat sukses. Favreau bertanggung jawab untuk memperkenalkan Iron Man dan secara tidak langsung memulai dunia Marvel yang kita kenal sekarang. Tanpa tangan dinginnya kita mungkin tidak akan menyaksikan berbagai serangan film superhero seperti yang kita rasakan sekarang. Dan yang kedua adalah ketika Disney memintanya untuk memintanya membuat live action The Jungle Book yang dirilis tiga tahun lalu. Favreau ternyata memiliki sihir yang efektif untuk membuat live action film klasik tersebut menjadi tetap relevan dan menghibur. Diantara proyek-proyek remake animasi Dinsey yang lain, The Jungle Book adalah salah satu yang terbaik.

Lalu apa yang terjadi dengan The Lion King? Kenapa versi "live action" (yang sebenarnya bukan live action tapi lebih ke photo-realistic CGI) The Lion King tidak mengaum sekeras versi animasinya? Kenapa rasa bosan muncul ketika saya menonton versi ini?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak ada yang berubah dari The Lion King versi baru ini. Dan Favreau bersama Disney sadar akan hal ini. Salah satu hal yang paling masterful dari film ini adalah ceritanya. Bagaimana kisah Simba mengalir dengan begitu lancar dan plotnya yang sederhana membuat penonton benar-benar terbuai dengan kisah hidupnya. Dan karena itulah Favreau bersama penulis skrip Jeff Nathanson tidak merubah banyak hal dari versi animasinya. Versi baru ini mengikuti beat by beat yang ada dalam filmnya. Scene-nya sama tapi pengadeganannya saja yang agak sedikit di-adjust. Bagi penonton yang sudah menonton versi animasinya pasti bisa melacak bagian mana saja yang baru.

Dengan tambahan durasi 30 menit (versi animasinya berdurasi 88 menit sementara versi ini berjalan 118 menit), Anda pikir Anda akan mendapatkan semua lagu original yang ada di versi animasinya. Ternyata tidak. Favreau meng-omit beberapa adegan musikal versi animasinya dan menambahkan satu adegan musikal untuk menunjukkan bahwa mereka menggaet Beyonce dalam versi barunya. Meskipun begitu nomor-nomor klasik seperti The Circle of Life, Hakuna Matata dan Can You Feel The Love Tonight tetap hadir untuk memuaskan penonton.


[Gambas:Video 20detik]



Jika memang plotnya copy paste dengan versi aslinya, nomor-nomor musikal favorit tetap hadir dan pengisi suaranya beken semua, kenapa The Lion King yang baru ini terasa seperti kemunduran? Ternyata jawabannya sederhana: di balik teknologi yang luar biasa itu, versi baru The Lion King ternyata hampa.

The Lion King sejujurnya mengesankan dalam pembukaannya. Favreau tahu bahwa opening The Lion King, sekuens The Circle of Life, adalah salah satu adegan yang membuat versi animasinya nampak gahar. Kita menyaksikan sebuah kerajaan yang powerful dengan karakter-karakter yang kuat bahkan tanpa mereka berbicara. Dan teknologi yang digunakan oleh Favreau sungguh membuat mata ini terperangah. Rasanya seperti menonton sulap. Apa yang kita lihat seperti nyata. Adegan-adegan di The Lion King terasa seperti National Geographic saking realistisnya.

Kemudian karakter-karakter binatang ini mulai berbicara, mulai berinteraksi dan drama pun mengikuti. Dan di sinilah problem muncul. Ternyata Disney benar-benar berkomitmen untuk membuat The Lion King se-realistis mungkin sehingga mereka membuat karakter-karakter mereka bertingkah seperti binatang. Yang membuat mereka menghilangkan semua ekspresi dan adegan-adegan karikatur yang muncul di versi animasinya. Dan ini membuat The Lion King versi baru terasa lifeless. Kita melihat visual binatang-binatang yang sangat realistis dan berkelakuan seperti binatang dengan dialog-dialog yang sangat kompleks. Hal tersebut ternyata membuat karakter-karakternya menjadi kaku, tidak ada emosi sama sekali seperti layaknya manekin.




Beberapa pengisi suara berupaya keras untuk menjadikan rekaan gambar komputer ini menjadi punya jiwa. Billy Eichner dan Seth Rogen (masing-masing menjadi Timon dan Pumbaa) adalah duo terbaik dari seluruh barisan cast di film ini. Ketika kita melihat mereka berdua, kita bisa merasakan bahwa mereka ada untuk satu sama lain. James Earl Jones mengulangi perannya sebagai Mufasa dan seperti versi animasinya, dia adalah raja yang tak tergantikan. Donald Glover sebagai Simba cukup playful tapi dia kurang mendapatkan bahan yang menggigit. Chiwetel Ejiofor sebagai Scar sama sekali bukan Jeremy Irons dan Beyonce sebagai Nala sama sekali tidak mengesankan.

Pada akhirnya The Lion King memberikan kita pelajaran bahwa ternyata teknologi yang canggih tidak selamanya otomatis menjadikan Simba menjadi lebih baik. Favreau lupa bahwa yang dicintai penonton dari versi animasinya adalah perasaan terikat dengan karakter-karakternya. Bagaimana gambaran para animator dan reaksi ekspresif karakter animasi di versi 1994 membuat penonton menjadi dekat dengan Simba dan kawan-kawan. The Lion King yang baru mungkin terlihat lebih spektakuler tapi dia kosong tanpa jiwa.

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.




(dar/dar)

Hide Ads