'Melodrama' Lorde: Lebih Matang dan Bijaksana

'Melodrama' Lorde: Lebih Matang dan Bijaksana

Rendy Tsu - detikHot
Kamis, 06 Jul 2017 11:14 WIB
Foto: Steven Ferdman/Getty Images
Jakarta - Pada debutnya, ia menertawakan musik pop dan hedonisme. David Bowie menjulukinya "masa depan musik" dan Kanye West adalah salah satu penggemar beratnya. Seorang remaja gothic asal New Zealand yang saat itu baru berusia 16 tahun membawa musik pop ke tingkat lebih tinggi.

Dialah Lorde, si anak ajaib, ikon anti teen pop yang mengacaukan dunia lewat single 'Royals', kini kembali membawa kesendiriannya ke dalam Melodrama.

Selang 4 tahun berlalu sejak debut album Pure Heroine dirilis, album keduanya, Melodrama ini tampak bersiap menjadi fenomena selanjutnya. Proyek ini telah dimulai sejak awal Desember 2013. Saat itu, Lorde tengah melangkah mundur dari sorotan publik.

Perpisahannya dengan sang mantan di tahun 2015 dan keputusannya hidup mandiri tanpa orang tua, memberikan waktu untuk sendiri. Bagi Lorde, Melodrama bukan sebuah album moody tentang patah hati. Album ini bercerita tentang kesendirian; sisi baik, juga sisi buruknya. Tentang ironi sebuah pesta.

Untuk membuat Melodrama terdengar berbeda dari Pure Heroine, Lorde membawa serta Jack Antonoff, yang selama ini dikenal dalam band fun, sebagai co-writer. Lorde menangkap emosi, tidak seperti orang lain. Ketika menulis lagu, ia seakan tahu bagaimana lagu itu ingin dan (akan) didengar.

Jack Antonoff mewujudkannya dengan baik, memberikan udara segar tanpa meninggalkan jejak lama. Jadi saat Max Martin mendeskripsikan 'Green Light' sebagai sebuah "penulisan lagu yang salah", mereka berdua tidak ambil pusing.

Melodrama dikemas dengan semburan sajak (ibunya adalah seorang penyair, dan sejak kecil Lorde terbiasa memeriksa naskah tebal milik ibunya) dan sound- sound aneh yang mengacaukan rumus matematika lagu-lagu pop.

Album Paul Simon, Graceland (1986) menjadi salah satu referensi utama Lorde ketika menulis Melodrama. Lorde juga banyak mendengar Frank Ocean, Tom Petty, Phil Collins, Joni Mitchell hingga Rihanna.

Sesuai namanya albumnya penuh drama dan penyataan pribadi. Jika Pure Heroine mengandung banyak 'we' dan 'us', Melodrama lebih condong ke 'I'. Kumpulan sketsa dan pemikiran seorang gadis pemalu di usia 19 tahun.

Seperti 'Green Light' dan 'Hard Feelings/Loveless' tentang perpisahannya dengan sang mantan. Meski begitu, tidak semua terdengar sedih; ada juga lagu seperti 'Supercut' yang menggabungkan 80's pop dengan electro house beat.

Atau 'The Lourve' yang menggambarkan masa-masa bahagianya saat jatuh cinta. Hampir semua lagu dipenuhi dengan synth aneh, beat-beat digital, (dan sedikit string untuk menambah drama). Hanya 'Writer In The Dark' dan 'Liability' yang cukup dibangun dengan suara husky dan piano telanjang.

Mungkin Melodrama tidak akan mendapatkan apresiasi sebesar Pure Heroine, selayaknya sebuah debut masterpiece. Tapi, seperti selayaknya juga seperti karya kedua dari seorang musisi hebat, Melodrama dibuat dengan lebih matang dan bijaksana. Dan itu sudah lebih dari cukup.

* Rendy Tsu (@rendytsu) saat ini bekerja sebagai Social Media & Content Strategist. Selain aktif sebagai penulis lepas, ia juga pernah menjadi Music Publicist di salah satu perusahaan rekaman terbesar di Indonesia. (ken/ken)


Hide Ads