Ia nekat melakukan perjalanan dengan bus. Duduk di pinggir dekat jendela terbuka, Mbah Sri tak takut angin yang menerpa rambut ubannya. Sampai di sebuah desa, tak henti ia melangkahkan kakinya, pelan berjalan menelusuri jalanan tandus perkebunan jagung seorang diri.
Teringat kesedihan perpisahannya dulu, sang suami sebelum maju ke medan perang dalam Agresi Militer Belanda II sempat bilang, "Kalau aku tidak pulang diikhlaskan saja ya". Kini, berpuluh-puluh tahun berlalu Mbah Sri masih berharap. Ia duduk di tepi waduk memandang ke kejauhan, masih terlihat ringkih dan kebingungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fim 'Ziarah' adalah film panjang pertama karya sutradara BW Purbanegara yang mengangkat perjalanan simbolis seorang nenek dalam pencariannya atas makam suaminya yang tak pernah kembali setelah pamit perang dibuat dengan sangat sederhana, penuh makna, apa adanya, dan sangat layak untuk ditonton sebagai film indie beranggaran minim.
Mendengar nama BW Purbanegara mungkin memang masih asing di telinga penggemar film Indonesia. Namun, sebenarnya BW sudah malang melintang membuat banyak film pendek sejak 2005.
Salah satu film pendeknya berjudul 'Bermula dari A' (2011) telah menang penghargaan Best Short Film Award di Vladivostok International Film Festival di Rusia. Kini, 'Ziarah', debut film panjangnya juga tak kalah eksis di berbagai ajang penghargaan.
Antara lain di FFI 2016 masuk dalam nominasi kategori Penulis Skenario Asli Terbaik. Selain itu di ajang international, di ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) 2017, 'Ziarah' memboyong dua penghargaan, Best Screenplay dan Special Jury Award sekaligus.
Ziarah bermula dari kisah seorang nenek bernama Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang memiliki keinginan terakhirnya untuk pergi mencari makam suaminya, Pawiro Sahid, yang gugur di medan perang saat Agresi Militer Belanda ke II tahun 1949.
Suatu hari seorang tentara veteran teman semasa perjuangan Pawiro Sahid memberitahu Mbah Sri, bahwa ia mengetahui di mana letak makam suaminya itu. Mendengar itu, Mbah Sri kemudian nekat pergi dari rumah tanpa pamit dan memulai melakukan perjalanannya seorang diri.
Sayang tak semudah itu untuk mencari makam Pawiro Sahid. Empat hari tidak mendengar kabar dari neneknya, cucunya, Prapto (Rukman Rosadi) menyusul simbahnya. Pencarian Mbah Sri atas Pawiro pun beriringan dengan pencarian Prapto atas Mbah Sri. Berkilo-kilo mereka mencari, dari Bantul sampai Wonogiri, semua jenis orang sudah ditemui.
Dari warga penduduk, tokoh kampung, sopir semua sudah Mbah Sri tanyai. Di perjalanan Mbah Sri juga dibuat bingung tidak pasti ke sana ke mari, oleh informasi-informasi singkat yang ia dapat dari orang yang berbeda-beda.
Sejenak, sambil menikmati hujan Mbah Sri beristirahat di rumah penduduk. Meski tangannya yang sudah terlihat ringkih gemetaran memegang gelas berisi teh panas, ia tetap mampu menyembunyikan keletihannya.
Ketika seorang wanita muda tuna netra kemudian menawarkan rumahnya untuk istirahat, Mbah Sri pun menyanggupinya. Di akhir perjalanan, di antara semangat dan keputusasaannya, Mbah Sri belum juga menemukan makam suaminya.
Ia kemudian hanya duduk lemah tertidur di sebuah gapura pemakaman, menunggu jawaban yang tak kunjung datang menemuinya, yang berujung pada kenyataan pahit.
Dengan durasi 87 menit dan percakapan menggunakan bahasa Jawa halus, tak susah rasanya untuk bersimpati dengan kisah Mbah Sri dalam perjalanan 'Ziarah'-nya mencari makam suaminya.
Sang sutradara tampaknya tahu betul bagaimana menampilkan film perjalanan (road movie) dengan rendah hati, alami dan utuh. Film ini tidak memerlukan suara-suara bising yang berusaha keras untuk menarik perhatian penonton, menceramahi, atau ingar bingar kemewahan ala road movie.
Ia hanya menunjukkan secara realis perjalanan seorang nenek tua dengan berbagai pertemuan-pertemuan dan kesunyian yang ditemui hingga akhir film.
Dari departemen kamera, perjalanan Mbah Sri dengan segala tekad dan kebingungannya berhasil ditangkap oleh Gumilang Almas Pratama dan Sancaka Candra Ditya dengan mulus. Mereka berhasil menangkap gambar-gambar khas kehidupan Jawa di pelosok pedesaan.
Pendekatannya memang terlihat seperti semi dokumenter, namun justru itulah yang membuat gambar 'Ziarah' tertangkap nyata alami. Pasar ditunjukkan apa adanya dengan segala eksotisme keriuhannya, acara pemakaman digambarkan dengan sangat sakral dilengkapi tembang Jawa.
Perbincangan-perbincangan dengan para saksi sejarah di ruang-ruang tamu sederhana juga tertangkap dengan baik. Setiap adegan juga diperlihatkan dengan kesunyian, kadang tembang-tembang Jawa yang mistis terdengar, semakin membuat film ini bikin merinding.
Naskah yang ditulis oleh BW Purbanegara sendiri pun berjalan dengan naratif, namun filosofis. Di awal kita ditunjukkan betapa kematian-kematian yang datang di dunia ini adalah sebuah tanda pengingat bahwa kelak kita akan bersatu lagi dengan tanah yang menjadi asal mula manusia.
Lalu alur berjalan maju dengan sangat lancar mengikuti kisah perjalanan Mbah Sri. Isu sosial juga tertangkap dari setiap dialog-dialog yang diutarakan oleh para pemeran, diselipi kritik yang disampaikan secara halus, seperti tentang sejarah, tentang ironi pahlawan sejati yang justru berakhir seperti Pawiro Sahid, yang makamnya tak dikenal.
Tentang mengenal diri kita sendiri dengan sebenar-benarnya, juga memahami masalah sosial kehidupan desa yang rentan fenomena bunuh diri, dan isu-isu sosial lainnya.
Dari pemeran, BW sengaja membawa jajaran wajah-wajah baru yang potensial. Hal ini sebenarnya berisiko, karena mungkin akan sulit untuk mengarahkan mereka. Namun, yang terjadi sebaliknya, semua pemeran di film ini menonjol membawa misi mereka masing-masing.
Aktor yang paling menonjol tentu Mbah Ponco Sutiyem yang tampil sebagai Mbah Sri dengan sangat maksimal (penampilannya masuk nominasi aktris terbaik di AIFFA 2017), meski usianya sudah sangat lanjut.
Kita akan bisa merasakan bagaimana perasaan sedihnya tokoh Mbah Sri ditinggal perang suaminya hingga bertahun-tahun, kita akan bisa merasakan semangatnya yang tersembunyi di badan kecil ringkihnya. Kita juga bisa merasakan ketegarannya dari raut muka keriputnya saat ia mengetahui kenyataan pahit pada akhirnya.
Jajaran pendukung lain yang menonjol adalah Rukman Rosadi sebagai cucunya, yang tak kalah rumit dihadapkan oleh kewajibannya menjaga nenek satu-satunya dan calon istri yang tidak mau tahu (Vera Prifatamasari).
Sisanya, kita akan melihat semua pemeran merajut benang-benang kecil film 'Ziarah' menjadi semakin utuh dari setiap pertemuan-pertemuan yang datang terjadi menemuinya.
Film 'Ziarah' tidak hanya menyuguhkan cerita film perjalanan (road movie) secara alami, apa adanya dan narasi yang kuat, tapi juga menunjukkannya secara filosofis. Dari sebuah keinginan yang belum terpenuhi oleh badan ringkih yang sudah termakan usia untuk menyingkap sejarah lain dari bangsa besar ini, yang merdeka bukan hanya berkat perjuangan para 'pahlawan', tapi juga orang-orang biasa.
Menyingkap setiap sisi kisah personal dari yang muda dalam membuat garis tanda pondasi rumah masa depan, hingga yang tua membuat garis tanda tempat peristirahatan terakhirnya. Tentu, ini hanya sebuah awal; di masa depan kita masih akan menunggu karya-karya besar menyentuh lainnya dari sutradara asal Jogyakarta BW Purbanegara. Kita tunggu kedatangannya.
Masyaril Ahmad penggemar film (ken/ken)