Sampha Sisay menunjukkan bahwa ia tidak main-main dalam berkarier sebagai solois; setelah sebelumnya merilis dua EP solo "Sundanza" (2010), dan "Dual" (2013) —meski kedua album tersebut tak mampu mengangkat namanya sebagai penyanyi solo. Untungnya, ia membekali album 'Process' dengan lebih baik; dengan 10 lagu ironi masa lalu dalam wujud alternative R&B dan nu-soul.
"I'll work my way over into the sunlight here without looking directly into the sun", rekaman narasi yang diucapkan oleh Neil Amstrong tentang perjalanan ke bulan membuka lagu 'Plastic 100°C' dengan perenungan. Tidak kalah suram, lagu kedua sekaligus single 'Blood on Me' menggambarkan momen-momen ketakutan dalam sleep paralysis. "I swear they smell the blood on me", ujarnya tentang orang-orang yang mengejarnya dari dalam mimpi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti yang telah disimpulkan di atas, sebagian besar album ini terdengar sedih. Sampha menggambarkan tentang kehilangan di 'Take Me Inside', dan tentang penyesalan di 'Reverse Faults'. Namun, ada pula ungkapan cinta. Ia menyanyikan balada '(No One Knows Me) Like The Piano', sebagai wujud rindu tentang masa kecilnya di Morden, London. Lagu ini didedikasikan khusus sebagai bentuk penghargaan kepada ibunya yang mempercayai talenta suara si anak bungsu yang tumbuh besar dengan instrument piano. Lagu ini punya potensi untuk menjadi hits besar.
Penutup 'What Shouldn't I be?' tidak kalah personal, menangkap momen-momen yang paling rentan, mencoba mengingat kembali skeksa dari masa kecilnya. Mungkin itulah kenapa album ini terdengar ironis. 'Process' seperti sebuah jalan pulang untuk kembali ke rumah, untuk kembali ke masa lalu.
Rendy Tsu (@rendytsu) saat ini bekerja sebagai Social Media & Content Strategist. Selain aktif sebagai penulis lepas, ia juga pernah menjadi Music Publicist di salah satu perusahaan rekaman terbesar di Indonesia.
(mmu/mmu)