'How To Stop Time' Adhitia Sofyan: Dicintai Karena (Masih) Sederhana

'How To Stop Time' Adhitia Sofyan: Dicintai Karena (Masih) Sederhana

- detikHot
Jumat, 16 Agu 2013 10:38 WIB
Jakarta - Sederhana. Satu kata yang saya gunakan untuk menggambarkan keseluruhan dari musik dan pribadi Adhitia Sofyan. Tanpa embel-embel mengerikan dan cerita-cerita luar angkasa, Adhitia Sofyan memberi suguhan telinga yang menyegarkan.

Setelah sebelumnya dikenal luas dengan dua album berjudul 'Quiet Down' (2009) dan 'Forget Your Plans' (2010), Adhitia kembali dengan materi baru yang sedikit berbeda. Ia tidak lagi sendiri. Kini, gitar akustik itu punya teman baru; sejumlah instrumen yang turut menyumbangkan nada dan irama di dalam album terbarunya yang berjudul 'How To Stop Time'.

'How to Stop Time' dirilis untuk publik pada pertengahan Juli 2013 setelah sebelumnya lebih dulu dirilis untuk pasar Jepang sebulan lebih awal. Hubungan personal antara Adhitia Sofyan dan Negeri Sakura tersebut memang memberikan pengaruh pada 'How To Stop Time', bahkan terlihat jelas pada artwork album ini. Tur ke Jepang beberapa waktu lalu adalah sebuah pengalaman yang jelas tidak akan pernah dilupakan oleh Adhitia, hingga ingin menghentikan waktu untuk terus mengenangnya. Maka, jadilah 'How To Stop Time' sebagai bentuk ekspresi dan perasaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kendati dibalut dalam kesederhanaan, ia ternyata menyimpan cerita yang tidak sesederhana yang kita kira. Anda akan lebih jauh memahami perasaan Adhitia Sofyan tentang Jepang dalam lagu berjudul 'Tokyo Lights Fade Away'.

Ada juga pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang tertuang dalam lagu 'Secret of The World' dan 'World Without A Sky' dengan sepenggal lirik "Haven't you heard how a star finally died in the end?" atau "Have you seen a World without a sky?" bukan hanya menjadi perumpamaan kosong, namun mengajak kita untuk merenung sejenak tentang kehidupan.

Namun, Adhitia Sofyan tetaplah Adhitia Sofyan; ia masih setia berkutat dengan cerita cinta yang kandas dan berantakan, tentang kesedihan dan kesepian. Ada juga tentang janji yang tak pernah ditepati di lagu 'Promise', atau cerita yang tak pernah memiliki akhir di 'September'. Namun, lagu yang paling menyentuh saya adalah tentang kenangan seorang ibu yang dituangkan dalam lagu 'Mother'.

Dengan tambahan instrumen lain yang mencoba menambah keriuhan, album ini jadi terdengar mirip dengan band indie folk/pop dari Islandia, Of Monster and Men di beberapa sisi. Namun, rangkaian komposisi di album ini membuatnya masih menjadi Adhitia Sofyan yang lama. Dari segi aransemen, ia berlari ke sana ke mari tapi lagunya masih punya napas yang sama. Adhitia Sofyan tetaplah Adhitia Sofyan; sosok yang dicintai karena musiknya yang sederhana.

Rendy Tsu (@rendytsu) music director radio, album reviewer dan blogger yang mendedikasikan tulisannya untuk musik.




(mmu/mmu)

Hide Ads