Di tahun ini, sejumlah solois pria tampak menjadi idola yang namanya perlahan naik. Bila di tahun-tahun sebelumnya industri musik diwarnai banyak solois perempuan -- baik wajah baru ataupun pemain lama yang bertahan-- sebut saja Raisa, Isyana Sarasvati, Danilla, Vira Talisa, hingga Rayssa Dynta, di tahun ini, nama penyanyi pria lebih banyak mendapat sorotan.
Tren tersebut dimulai saat Kunto Aji mengeluarkan album kedua berjudul 'Mantra Mantra' di penghujung 2018. Album tersebut mencapai puncak kesuksesan di tahun ini. Harus diakui album tersebut memang apik dan berdampak besar karena Kunto Aji berhasil membuat para pendengarnya sadar akan pentingnya kesehatan mental.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Padahal, di tahun ini, Eva Celia juga mengeluarkan mini album berjudul 'LIFELINE: Introduction' yang diisi oleh lagu-lagu lagu dengan lirik yang begitu apik. Mini album tersebut mendapat apresiasi yang baik akan tetapi, Eva Celia berhak mendapat sorotan lebih di tengah gempuran solois pria tahun ini.
Di tengah kejenuhan akan banyaknya pemberitaan dan percakapan di media maya mengenai sosok Hindia yang begitu populer setelah merilis album solo perdananya yang bertajuk 'Menari Dengan Bayangan', ada Bilal Indrajaya yang muncul dengan materi segar dalam album 'Purnama' dan Petra Sihombing dengan single 'Cerita Kita Milik Semua' dan 'Biji'.
Hanya saja, gelombang penyanyi solo pria bukanlah hal yang paling menonjol di 2019. Justru, ada satu hal yang paling tidak disangka-sangka terjadi di industri musik tahun ini, yaitu bagaimana sebuah narasi tentang patah hati dan pesta karaoke mampu memberikan dampak pada musik akar rumput hingga bisa naik kelas dan dinikmati tanpa malu-malu oleh pendengar musik kelas menengah hingga menengah ke atas.
![]() |
Pada 2018, akan sulit membayangkan bagaimana lagu-lagu milik band Melayu, misalnya Kangen Band dan Wali bisa dikumandangkan oleh begitu banyak pecinta musik independen di panggung utama sebuah festival musik berskala nasional atau bagaimana Didi Kempot bisa berkonser di SCBD -- di tengah kafe dan bar kaum menengah atas Jakarta -- dengan menyanyikan lagu-lagu campursari berbahasa Jawa. Namun di 2019, semua terjadi. Musik akar rumput tersebut ternyata bisa dinikmati oleh mereka yang sebelumnya mungkin tidak pernah tertarik mendengarkan musik sejenis itu.
Kepopuleran Didi Kempot di akar rumput memang tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja, namanya baru dikenal remaja perkotaan ketika salah satu media alternatif menulis betapa lirik lagu Didi Kempot sejatinya adalah gambaran lagu patah hati yang paling sedih. Saat itu, tulisan mengenai Didi Kempot ditempelkan pada konteks olok-olok pada sad boy dan soft boy yang disebut sebagai pria-pria yang gemar mendengarkan Frank Ocean atau Rex Orange County.
Ulasan dalam media alternatif itu menyebutkan, bahwa sebenarnya, bukan Frank Ocean dan Rex Orange County yang seharusnya dinikmati oleh sad boy ataupun soft boy, melainkan Didi Kempot. Entah rasa keingintahuan atau karena kita memang gemar merayakan kesedihan, Didi Kempot menjadi begitu terkenal. Sesaat kita semua hafal lagu 'Cidro', 'Layang Kangen', 'Sewu Kutho', 'Pamer Bojo' dan lain-lain. Sebuah fenomena yang ajaib tapi bisa dimaknai positif. Bagaimana perasaan patah hati, menjadi narasi yang bebas kelas, yang membawa lagu-lagu campursari bisa dinikmati oleh kalangan SCBD. Semua orang pasti pernah patah hati, semua orang pasti ingin keluar dari perasaan patah hati dengan menjadi baik-baik saja.
Bersama Didi Kempot dan imaji mengenai perasaan yang sama, kita bersama-sama merayakan patah hati dengan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa, berbaur bersama, meneriakkan liriknya dan menamai diri sebagai Sobat Ambyar.
Kedua, adalah bagaimana Oomleo Berkaraoke dengan ajakan untuk pesta karaokenya mampu membawa dan menghidupkan kembali musik Melayu yang belakangan hidup segan mati tak mau. Kita mungkin masih sama-sama ingat betapa kepungan band Melayu melanda industri musik di awal 2000-an. Saking banyaknya, lambat laun kita bosan dengan maraknya kehadiran band Melayu. Berganti zaman, kepopuleran band Melayu menjadi tergerus dan trennya ditinggalkan, tergantikan oleh tren musik lainnya yang datang silih berganti.
Anggap musik yang seragam, nada yang mendayu-dayu dan lirik yang cengeng dari band Melayu memang menyebalkan, namun kita tidak bisa menafikan betapa band Melayu adalah bagian dari catatan musik Indonesia. Lewat lagu-lagu mereka, meski dibalut dengan tema cinta, kita bisa meneropong potret kehidupan dan kegelisahan akar rumput.
Misalnya mengenai bagaimana konstruksi sosial membuat pernikahan menjadi suatu keharusan dan membuat mereka yang belum menikah tertekan dalam 'Cari Jodoh' dari Wali atau cerita tentang kebandelan anak muda yang dikemas dalam bahasa mereka 'Bocah Ngapa Yak' dari Wali, atau atau bagaimana mereka kerap putus cinta karena pasangannya menganggap sebelah mata (lagi-lagi, pastinya ini persoalan kelas yang dibahas dengan cara sederhana) dalam 'Cari Pacar Lagi' dari ST12 atau 'Hargai Aku' dari Armada.
Sebelum ajakan Oomleo untuk menyanyikan lagu tersebut dalam format pesta karaoke, kita mungkin malu mengakui bahwa kita bisa saja hafal lirik dari lagu yang dulu diputar terus menerus itu. Akan tetapi semua berubah di panggung Synchronize Fest 2019, serta merta, kita menyanyikan lagu mereka dengan kencang tanpa malu-malu bersama Radja, Andika Eks Kangen Band, Setia Band (dulu ST12) dan Wali. Lagi, tahun ini membuktikan, musik memang untuk siapa saja dan sudah seharusnya bebas kelas.
Di tahun ini, kita juga bisa melihat betapa kondisi sosial politik untuk turut mempengaruhi musik. Pada akhir masa jabatan DPR RI periode 2014-2019 kita memang harus menelan pil pahit kekecewaan terhadap kinerja para wakil rakyat kita. Dengan tagar '#ReformasiDikorupsi', sejumlah mahasiswa dan aktivis turun ke jalan untuk menyuarakan sejumlah tuntutan, mulai dari pembatalan revisi UU KPK dan RUU KUHP, menuntut mandeknya proses RUU PKS, penyelesaian persoalan Karhutla, ditariknya tentara dari Papua dan sejumlah tuntutan lainnya.
Kita tiba-tiba merindukan sosok Iwan Fals muda ketika lagunya begitu lantang, galak, dan berani. Kita menginginkan Iwan Fals untuk kembali menyanyikan lirik, "Ternyata kita harus ke jalan. Robohkan setan yang berdiri mengangkang," dalam lagu 'Bongkar'-nya. Rupanya, Iwan Fals menjawab tuntutan itu dengan caranya.
Ia melemparkan protes yang keras dengan membuat penontonnya di Synchronize Fest 2019 menjadi tidak nyaman dengan layar merah menyala. "Sehat-sehat ya semua meski ada saudara-saudara kita kepanasan karena kebakaran hutan," ujarnya.'Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi', 'Balada Orang-Orang Pedalaman', 'Tikus Tikus Kantor' hingga 'Serdadu' dibawakan tanpa jeda dengan aransemen bernuansa eksperimental yang membuat penonton tidak nyaman sekaligus sadar bahwa ada masalah dan negeri ini sedang tidak baik-baik saja.
Terkadang keberpihakan Iwan Fals memang membingungkan. Di panggung yang sama saja, ia mengucapkan selamat HUT TNI sebelum membawakan 'Pesawat Tempur'. Akan tetapi, mungkin ia memang sengaja berada di area abu-abu agar penggemar fanatiknya bisa memilih secara mandiri keberpihakan politik mereka tanpa harus mengikuti idolanya. Ia sepertinya sadar betul mengenai posisi dan pengaruhnya, sehingga memilih untuk tidak menunjukkan di sisi ia berdiri. Meski membingungkan, upaya Iwan Fals untuk tetap menjadi relevan di tahun ini patut diapresiasi.
Hal lain yang terlihat di tahun ini adalah kembali mereka, musisi kenamaan, yang telah lama tidak mengeluarkan album. Ada dua yang layak menjadi catatan. Pertama album milik The Adams yang berjudul 'Agterplaas' setelah 13 tahun tidak merilis album. Album itu begitu sukses diterima oleh pendengar baru dan juga mereka yang sudah mendengarkan The Adams dari lama. Menariknya, 'Timur' yang tidak dijadikan single, justru menjadi lagu paling ikonik di album itu. Kita memang terkadang sulit memprediksi musik.
Kedua adalah album 'Romansa ke Masa Depan' dari Glenn Fredly setelah sembilan tahun sang penyanyi asal Ambon itu absen merilis karya solo. Kalau pun ada album 'Luka, Cinta & Merdeka' pada 2012, namun sebenarnya album itu bukan merupakan album solo, melainkan proyek musik Glenn Fredly bersama The Bakucakar.
Di penghujung tahun, Isyana Sarasvati menutupnya dengan album yang nyaris paripurna berjudul 'LEXICON'. Lewat album tersebut, Isyana seakan membawa musik pop ke level yang lebih lanjut. Jelang akhir tahun, Isyana Sarasvati berhasil membuat tugas dan beban penyanyi pop menjadi lebih berat karena albumnya berhasil memberikan standar yang begitu tinggi pada bagaimana seharusnya album dari label rekaman arus utama.
Mengamati dunia musik di tahun ini memang sangat menarik, beragam rupa dan hal yang tidak terduga bisa terjadi dalam jangka waktu satu tahun. Kira-kira, apa ya yang akan terjadi di 2020?
(srs/kmb)