"Sejak kecil saya suka lagu dengar lagu Barat maupun Timur. Saat remaja saya punya grup melayu dan band. Malam minggu saya main di Menteng dengan band membawakan lagu-lagu Barat tapi di malam Jumat saya main di kampung becek," terangnya dalam sebuah sesi di Archipelago Festival 2018 yang bertempat di Soehanna Hall, The Energy Building, SCBD, Jakarta Selatan.
Dari perjalanannya main di berbagai tempat itu akhirnya Rhoma Irama menyadari bahwa ia ingin menjadikan musik sebagai medianya untuk menyampaikan pesan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Perjalanan Dangdut dari Mata Sang Raja |
Selain itu, dangdut saat itu kerap dipandang sebelah mata. Hal itu membuat Rhoma Irama semakin bulat tekad untuk mengangkat martabat dangdut di mata pecinta musik.
"Saya lihat orkes melayu musik itu musik orang-orang yang kaum the have nots (tidak berada), sedangkan band punya orang-orang kaya, kaum the haves. Orkes melayu dimarjinalkan saat itu, itu keterpanggilan saya untuk membela musik yang termarjinalkan," ungkapnya.
"Saya tahu kalau dangdut dianggap kampungan digemari orang kampung, tapi saya senang, di Indonesia pada saat itu kampungnya besar, artinya pendengar dangdut llebih dominan dari pendengar pop," sambungnya.
Akan tetapi Rhoma Irama tak serta merta meninggalkan musik rock dan pop begitu saja. Dalam kesempatan yang sama, ia mengaku pernah memenangkan penghargaan musik pop di Singapura pada era 1970-an.
![]() |
Dalam diskusi itu, Rhoma Irama juga tak menampik adanya 'permusuhan' antara musik rock dan dangdut di era 1970-an. Menurutnya, hal itu bermula dari adu mulut antar dirinya dan Benny Soebardja dari Giant Step.
"Waktu itu Benny Soebardja bilang dangdut musik 'tai anjing' akhirnya saya panas, saya balas, Rhoma Irama bilang rock musik 'trompet setan'. Ya pada waktu itu sampai ada perkelahian antar penggemar," kisahnya.
Namun Rhoma Irama menyebutkan masa-masa itu sudah lewat dan tak perlu lagi ada pertikaian antar genre.
Tonton juga 'Disebut Sindir Rhoma Irama, Inul Daratista Angkat Bicara':
(srs/dar)