Kata Pedagang Toko Musik Kecil Atas Runtuhnya Toko Besar

Kata Pedagang Toko Musik Kecil Atas Runtuhnya Toko Besar

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Rabu, 06 Jan 2016 15:36 WIB
Toko musik khusus piringan hitam Monka Magic di Kemang, Jakarta Selatan / Foto: Asep Syaifullah
Jakarta -

Ada banyak alasan dan pendapat mengenai runtuhnya kedigdayaan toko-toko musik berjaringan nasional. Anehnya, para pedagang karya musik kecil justru terus hidup dengan grafik meningkat, setidaknya di Jakarta.

Ada kumpulan toko musik yang menjual kaset, CD serta piringan hitam di Pasar Santa. Beberapa lagi mengambil posisi di lantai Basement pusat perbelanjaan Blok M Square. Sisanya menyebar di banyak ruas ibukota, seperti salah satunya di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Sebagian banyak sukses meraup pendapatan rutin di kisaran Rp 7 juta per minggu hingga Rp 50 juta selama satu bulan.

Lantai Basement Blok M Square yang menjadi tempat penjual CD, kaset dan piringan hitam asli.



Target pasar yang berbeda mejadi faktor utama toko-toko seperti Laidback Blues Record Store dan Analog Head Store di Pasar Santa bisa terus berjalan. Begitu juga dengan penggiat piringan hitam di Monka Magic, Kemang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah mencari tahu apa saja yang mampu membuat mereka bertahan, penelusuran detikHOT pun sampai pada titik apa pandangan mereka akan tutupnya banyak toko musik besar itu. Apakah memang benar kata orang-orang bahwa penikmat rilisan musik telah lesu? Apakah membeli CD asli album para musisi bukan sesuatu yang keren lagi?

"Gue pun sebetulnya masih menggemari CD, tapi kenapa mereka tutup ya pasarnya sudah nggak ada. Kebanyakan orang-orang nggak datang kesana lagi, tapi ke outlet baju yang jual CD, misalnya Lawless atau toko CD yang punya banyak merchandise kaya Omuniuum Bandung. Mereka punya banyak merchandise yang jauh lebih menarik," kata Dovan, penjaga toko Laidback Blues Record Store saat ditemui detikHOT, Selasa (5/1/2015).

"Secara tampilan tokonya juga jauh lebih menarik. Pastilah menarik pembeli," sambungnya.

Isi toko musik Laidback Blues Record Store di Pasar Santa


Lain Dovan, lagi juga Adit yang mendirikan toko musik bernama Analog Head Store sejak 2008. "Kenapa mereka gugur, menurut gue salah satu yang krusial itu harga. CD impor di mereka itu bisa jual Rp 280-an ribu, gue bisa cuma Rp 150-an ribu. Terus juga biaya operasional dan produksi bengkak karena sewa mal yang mahal dan lain-lain," tutur Adit.

Sedangkan bagi sebagian pedagang toko musik kecil lainnya, salah satu penyebab adalah para pemilik toko musik besar tak mau lagi turun ke lapangan untuk memantau. Sehingga membuat para pemilik itu tak lagi paham tren apa yang berlangsung di tubuh para penikmat musik.

"Semua yang berjualan di Blok M ini owner-nya turun langsung. Itu juga yang membedakan karakter di sini dan toko-toko seperti Disc Tarra, owner mereka nggak turun langsung. Kenapa saya nggak kepikiran buka cabang, karena ada banyak hal yang nggak mudah diajarkan kepada karyawan," jelas pemilik toko Warung Musik, bernama Agus. yang sudah aktif berjualan sejak 2010.

"Owner-owner yang punya modal besar itu sudah malas duluan, nggak mau turun ke lapangan. Kalau kita lihat di Amerika Serikat itu ada Amoeba, dia ada tiga offline store yang besar-besar ada online juga. Dia jual second dan baru-baru juga dan sampai saat ini masih jalan baik-baik saja. Karena owner-nya tahu harus melakukan inovasi apa saja," tambah Agus yang sudah aktif berjualan sejak 2010.

Warung Musik, salah satu pelopor toko musik di Kawasan Blok M Square



Dengan sejumlah pendapat di atas, lantas masihkah percaya bahwa toko musik akan benar-benar tutup?

(mif/doc)

Hide Ads