Tidak bermaksud berlebihan, tapi jika harus disandingkan dengan generasi baru solois Tanah Air hari ini, jelas pelantun 'Sewindu' itu melambung jauh. Nah, bicara album keduanya, di sini Tulus menawarkan ragam musik pop yang sudah lama tidak terdengar, begitu lembut dan memanjakan telinga.
Aransemen sederhana, bunyian-bunyian string dan gendang, mengalun rendah membuat suara vokalnya terdengar dominan di sembilan lagu. Belum lagi pemilihan kata dalam lirik yang juga semakin jelas menunjukkan tingkat kecerdasan sang penyanyi. Jadi, tidak bohong ketika Tulus pernah berkata bahwa referensi penulisan liriknya adalah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Dibuka oleh lagu berjudul 'Baru', Tulus ingin memperdengarkan bahwa album ini sangat berbeda dari album debutnya dulu. Secara tersirat melalui cerita cinta, penyanyi kelahiran Bukittinggi itu bermain-main dengan ketukan jazz bertempo sedang. Di lagu kedua sampai dengan keenam, Tulus bernuansa akustik, ketukan drum malu-malu, petikan bass mengiringi perlahan, termasuk di single hits perdananya, 'Sepatu'.
Oh iya, jika banyak yang belum tahu, 'Gajah' sendiri adalah panggilan Tulus sewaktu masih kecil. Badannya yang besar tentu jelas menjadi awal mula ejekan itu. Maksud dan tujuan pemilihan nama binatang berbelalai itu menjadi judul album tak lain karena Tulus ingin lebih mengenalkan diri mengenai apa-apa yang dicerna dalam otaknya. Dari cerita masa kecil, ketimpangan sosial, hari libur dan tentu saja, cinta.
Memasuki lagu ketujuh, 'Lagu Untuk Matahari', Tulus menyampaikan semangat lewat tempo cepat R&B. "Jangan risaukan celaanmu/Mungkin mereka bulan, tapi ingat kau matahari/Cahaya mereka darimu//Menari benyanyi lakukan yang kau suka/Hidupmu bukan hidupnya," dendang Tulus di lagu tersebut.
Nah, ini salah satu lagu yang menonjol dari segi musikalitas dan tema, 'Satu Hari di Bulan Juni'. Di situ, Tulus bercerita mengenai relasi antara uang dan cinta yang saat ini banyak disalahartikan. Aransemen ala blues ballad membalut cerita perihnya bahwa saat ini sudah terlalu banyak manusia yang tertipu kesilauan harta dunia.
Satu lagi, lagunya yang terakhir juga menarik perhatian. Jika biasanya orang mengatakan 'cintai aku apa adanya', di album ini justru Tulus menyuguhkan lagu berjudul 'Jangan Cintai Aku Apa Adanya'. Eits, jangan merasa aneh dulu, karena Tulus berkisah dengan sangat wajar; dia meminta agar perempuan jangan hanya pasrah menerima keadaan dan menuntut itu tidak sepenuhnya salah. Bisa jadi diperlukan untuk membuat seseorang semakin berkembang. Hmm...Bagaimana menurut kalian para pria?
Harus diakui memang, ada nama lain seperti Ari Renaldi sebagai arranger yang membuat album ini semakin matang. Ari berhasil membuat Tulus memaksimalkan hasil getaran pita suaranya menjadi sangat merdu. Namun, terlalu singkat untuk sembilan lagu, 12 lagu mungkin terasa lebih baik bagi emosi yang rasanya ingin didengar terus-menerus.
Sungguh, ini bukan promosi. Tapi ketika mulai dari lagu pertama, maka akan terasa bahwa lagu-lagu seperti inilah yang dibutuhkan ranah musik pop lokal.
(hap/mmu)