Tujuh tahun jelas bukan waktu yang singkat. Band yang digawangi Acum (vokal, bass), Irwin (gitar) dan Dedyk (drum) itu bahkan sempat hampir bubar karena satu dan lain hal. Namun band yang sebelumnya merilis album 'Love Among the Ruins' (2003) itu bisa bertahan setelah hijrah ke Jakarta.
Bukan hal yang mudah bagi mereka untuk bisa berkarya di ibukota. Padahal boleh dibilang Jakarta adalah kota asal mereka. Selama di Kota Gudeg, ketiganya hanya mencari pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acum langsung memanggil sahabatnya dari Yogyakarta yang juga vokalis band Seek Six Sick, Bofaq naik ke pentas. Tanpa basa-basi pria berpakaian serba hitam itu langsung beraksi membacakan sebuah puisi tentang penatnya ibukota.
Perjalanan menyusuri pusat-pusat Jakarta pun dimulai. Bangkutaman mengawalinya dengan menyisir daerah Senayan hingga menuju gedung MPR/DPR.
"Karena dari gedung inilah, di mana lahir banyak keputusan yang tidak masuk di akal. Jadi sebaiknya kita hilangkan saja," ujar Acum yang langsung membawakan lagu 'Hilangkan'.
Usai meniti kerasnya Jakarta dengan segala masalah politik, Bangkutaman menuju ke Jatinegara lewat lagu 'Jalan Pulang'. Kepadatan Jakarta memang seringkali membuat orang bisa gila. Namun seperti kata Bangkutaman, suka tidak suka tetap dilakoni setiap hari. 'Alusi' jadi lagu curahan hati mereka selanjutnya.
Jangan hanya bicara soal kemacetan dan pemerintah, bagaimana dengan uang dan pekerjaan? Acum yang bekerja sebagai jurnalis musik di salah satu majalah ibukota pun sedikit curhat colongan. 'Coffee People' ia dedikasikan untuk mereka yang rajin terlambat pulang ke rumah karena harus berurusan dengan deadline.
Dengan gaya bernyanyi setengah bercerita Sir Dandy selalu bisa membuat orang tertawa dan mengikuti ucapannya. Itu pula yang terjadi ketika ia naik ke pentas membawakan puisi yang kata dia berjudul 'Kerja'. Kertas putih yang padat dengan rangkaian uneg-uneg soal pekerjaan langsung dibacakannya. Secara acak ia meminta Ale gitaris White Shoes & the Couples Company untuk mengiringinya.
"Lebih baik kerjakan yang kita suka daripada kerjakan yangΒ bikin kita menderita," begitu bunyi akhir puisi karya Sir Dandy.
Nuansa blues dihadirkan lewat penampilan gitaris Adrian Adioetomo dan Zeke Khaseli yang berdendang membawakan lagu 'Penat'. Benarkah segala sesuatu yang bisa ditemukan di Jakarta membuat Anda penat?
Perjalanan pun berlanjut ke Tanah Abang, tempat salah satu personel Bangkutaman mendapatkan inspirasi menciptakan lagu ini. Harus menggunakan kereta api ekonomi untuk menuju pusat kota Jakarta ternyata menimbulkan inspirasi positif. Setidaknya lagu 'Train Song' jadi pelengkap album baru Bangkutaman.
Kegilaan konser belum berakhir. Cholil vokalis Efek Rumah Kaca pun ambil bagian. Cholil yang malam itu tampil cerah dengan kaos merah didapuk untuk berduet bareng Bangkutaman menyanyikan lagu 'Di Batas Lelah'.
Ia memilih untuk mendedikasikan lagu tersebut untuk Ade Paloh yang baru-baru ini mengeluarkan pernyataan mengejutkan yaitu hengkang sebagai vokalis Sore. "Ade Paloh, jangan lelah," tutur Cholil yang disambut senyum dari Ade.
'Menjadi Manusia' dinyanyikan sendiri oleh Bangkutaman. Setelah itu Endah'N Rhesa pun melengkapi lagu tentang persahabatan yang dirasakan Bangkutaman sangat sulit ditemukan si ibukota. Mencari teman mungkin mudah, tapi sahabat yang tidak selalu memikirkan diri sendiri itu sulit.
Rhesa memboyong bass dan gitarlele untuk melengkapi lagu tersebut. Sementara Endah seperti biasa tidak melepaskan gitar akustiknya sambil bernyanyi bersama Acum. Suasana persahabatan yang hangat tiba-tiba tercipta ketika lagu 'Catch Me When I Fall' dilantunkan. Semua ikut bernyanyi walau hanya hapal lirik bagian reff saja.
Konser ditutup dengan manis ketika para bintang yang ikut berkolaborasi naik ke atas pentas. Bangkutaman mengucapkan daftar rasa terima kasihnya. Hingga semua penonton bertepuk tangan sesuai irama dan mulai menyanyikan intro lagu 'Ode Buat Kota'. Lagu single album kedua mereka.
Semua lagu di album baru mereka tidak ada yang luput didendangkan. Semua lagu-lagu itu dipersembahkan untuk kota yang menyebalkan tapi juga dicintai mereka. Mungkin memang Jakarta perlu lebih banyak lagi ode agar lebih bersahabat dengan para penghuninya. Atau mungkin para penghuninya perlu lebih banyak mengerti Jakarta ketimbang mengeluh dan minta dimengerti.
Konser sederhana ini memperlihatkan Bangkutaman telah hidup kembali. Walau pada kenyataannya mereka memang tidak pernah mati. Mereka hanya tertidur sejenak, memimpikan indahnya kota Jakarta dan terbangun harus menerima realita. Setidaknya Bangkutaman kini telah menemukan tempat baru untuk memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang hendak duduk sejenak menikmati alam, apapun dan bagaimanapun kondisinya. (yla/hkm)











































