"Raajneeti": Kitab Dahsyat Kotornya Politik

"Raajneeti": Kitab Dahsyat Kotornya Politik

- detikHot
Senin, 14 Jun 2010 15:05 WIB
Jakarta - Para politisi lahir dari perasaan sakit hati dan dendam. Film ini adalah sebuah "kitab" yang dahsyat, rapi dan "indah" (dari sisi sinematografi) tentang manusia-manusia dalam pusaran arus politik yang menyeret mereka menjadi orang-orang yang bahkan tidak mereka inginkan sendiri.

Tidak ada isu baru memang, selain intrik, skandal dan pengkhinatan. Sebab, dari zaman "Il Principe"-nya Machiavelli, memang seperti itulah politik: menghalalkan segala cara. Yang membuat film ini jadi istimewa adalah kecerdikannya memproyeksikan karakterisasi dan plot abadi dalam kisah Mahabharata ke atas panggung yang dibayangkan sebagai realitas politik India kontemporer.

Film ini dibuka dengan kilas balik seorang perempuan bernama Bharti Rai (Nikhila Trikha) yang melawan kekuasaan ayahnya sendiri, Perdana Menteri kala itu, sebelum kemudian memperkenalkan silsilah keluarga Pratap yang akan menjadi pusat konflik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alkisah, setelah sempat terlibat skandal cinta dengan seorang aktivis politik kiri, Bharti Rai menikah dengan Chandra Pratap (Chetan Pandit), saudara termuda dari pemimpin partai yang sedang berkuasa, Bhanu Pratap.

Setelah pembukaan yang panjang dan rumit itu, konflik baru benar-benar dimulai ketika Bhanu Pratap terserang stroke dan harus menentukan kepengurusan baru partai. Chandra Pratap dan anaknya, Prithvi Pratap (Arjun Rampal) mendapat kedudukan penting. Hal ini menimbulkan rasa iri pada anak Bhanu sendiri, Veerendra Pratap (Manoj Bajpai) dan menjadi awal dari pergolakan politik yang luas. 

Di sela-sela itu, alur berpindah-pindah untuk memperkenalkan tokoh-tokoh lain: ada anak kedua Chandra, yakni Samar Pratap (Ranbir Kapoor) yang sedang mudik dari kuliahnya di Amerika; dan, ada Sooraj (Ajay Devgan), anak dari keluarga sopir yang mengabdi pada keluarga pimpinan partai tadi.

Mengklaim mewakili aspirasi kasta terendah, Sooraj menyeruak ke rapat partai dan mencalonkan diri. Para petinggi partai menyambutnya dengan hinaan dan penolakan, namun Veerendra melihatnya sebagai peluang untuk dijadikan teman koalisi. Persaingan pun memuncak antara kubu Veerendra dengan kubu Prithvi.

Sampai kemudian Chandra tewas dalam kecelakaan mobil dan pihak Veerendra menjadi tertuduh. Namun, dengan berbagai trik dan strategi, kubu Veerendra bisa mengambil-alih kendali: orang-orang dari kubu Candhra ditangkapi, termasuk Prithvi. Intrik ini mendorong Samar yang akan kembali ke Amerika untuk menyelesaikan tesis mengurungkan niatnya. 

Selama tiga jam, film ini menyuguhkan drama politik yang keji dan kotor. Dengan intensitas ketegangan yang terjaga, kita diajak untuk mengikuti liku-liku perjalanan sebuah partai dalam menggapai kekuasaan lewat pemilu.

Dengan jitu, film ini menjadikan partai politik sebagai miniatur dari medan laga perang-saudara besar Bharatayudha. Di antara kedua kubu itu terdapat Brij Gopal (Nana Patekar), sang paman, yang mengingatkan kita pada Khrisna yang baik hati dan lembut, namun sebenarnya merupakan otak di balik semua yang terjadi.

Samar adalah personifikasi dari Arjuna, dan pada saatnya nanti, kita pun tahu siapa di antara para politikus itu yang muncul sebagai Karna, si anak terbuang, yang menolak kembali ke keluarganya dan lebih memilih membela sahabatnya. Dan, Bharti Ray adalah Kunthi yang sedih dan letih melihat anak-anaknya sendiri saling tikai. Pemakaman demi pemakaman menguras airmatanya. 

Sutradara Prakash Jha mengemas adegan-adegan kolosal prosesi pemakaman dan pidato-pidato kampanye politik menjadi momen-momen yang agung dan menggetarkan. Namun, pada sejumlah adegan, tampak adanya upaya untuk menyesuaikan dengan cita-rasa Hollywood ketika film ini harus menggambarkan kekerasan. Efeknya memang cukup mengejutkan dan sensasional. Darah dan ledakan mobil di mana-mana.

Film ini terlalu emosional dalam melukiskan betapa kotornya politik, sehingga kadang lengah pada sejumlah karakterisasi. Meninggalnya sang ayah tentu masuk akal jika membuat Samar marah dan menuntut balas. Namun, perubahan dirinya dari seorang mahasiswa "culun" (lengkap dengan penyosokan tipikalnya sebagai pria berkamata) yang belajar puisi zaman Victoria di Amerika menjadi "politikus" yang berdarah dingin, terasa terlalu drastis, kurang dikondisikan dengan cukup masuk akal sebelumnya.

Dengan durasi sepanjang itu, tetap saja banyak adegan yang terasa "memotong kompas", misalnya konflik yang sedemikian rumit antara dua kubu, akhirnya diselesaikan dengan baku tembak di sebuah gudang tua.

Sementara, ada beberapa adegan yang tidak terlalu penting, misalnya ketika Samar pergi ke klab malam. Kisah cinta menelusup di antara ketegangan politik, melibatkan perempuan anak pengusaha kaya yang berperan penting dalam pendanaan partai, yang cintanya ditolak oleh Samar. Lengkap sudah ketika urusan asmara itu akhirnya diseret juga ke tingkat politik, menjadi "sub-teks" tersendiri yang menggambarkan posisi perempuan.

Jika dalam politik tidak ada istilah kawan atau lawan, maka film ini menggambarkannya dengan telak, sampai-sampai kita tidak tahu harus bersimpati ke pihak mana: semua orang jahat dan kejam, dan siapa "tokoh baik" siapa "tokoh jahat" menjadi kabur. Yang ada hanyalah aksi dibalas aksi, pembunuhan dibalas pembunuhan, dan politikus baru lahir lagi, dan lagi. diputar di

(iy/iy)

Hide Ads