Ini adalah sebuah opening yang keras, bahkan untuk ukuran Clint Eastwood. Tapi, 'American Sniper' ternyata bukan film perang yang mengandalkan adegan baku hantam. Eastwood lebih tertarik menggali sisi psikologis tokoh utamanya sampai ke sudut paling gelap.
Setelah adegan tersebut berakhir, kita digiring untuk melihat bagaimana cerita ini bermula; di mana Kyle berasal, siapa yang mengajarinya memegang senjata, bagaimana sang ayah memberi tahunya apa yang jahat dan apa yang baik, apa yang membuatnya untuk bergabung membela negara, bagaimana ia bertemu dengan istrinya (Sienna Miller), dan apa yang terjadi ketika ia pulang setelah lama ada di medang perang.
Secara tempo, American Sniper memang cukup lamban. Eastwood menahan diri untuk tidak tergesa-gesa. Dia begitu sabar memberikan informasi demi informasi kepada penonton. Tidak seperti 'Lone Survivor' tahun lalu, kali ini Eastwood tidak tertarik untuk mengeksploitasi adegan berdarah-darah. Dia lebih asyik untuk menggiring penonton menyelami manusia yang berhadapan dengan jiwa-jiwa yang hilang setiap harinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal karakter Kyle ini memang sudah menarik: seorang pahlawan yang membunuh musuh dari belakang punggungnya. 'American Sniper' memang bukan 'Unforgiven' atau bahkan 'Mystic River', tapi paling tidak Clint Eastwood masih hebat dalam mengarahkan pemainnya. Nama Bradley Cooper adalah satu-satunya alasan kenapa transformasi Chris Kyle terasa nyata. Setelah bermain begitu banyak serial televisi —mulai dari bintang tamu di serial 'Sex and the City' sampai menjadi teman Sydney Bristow dalam 'Alias'— dan akhirnya menjadi tokoh antagonis dalam 'Wedding Crashers', namanya semakin diperhitungkan sejak diajak David O. Russell dalam 'Silver Linings Playbook'.
Cooper yang berumur empat puluh tahun menaikkan berat badannya menjadi otot untuk menghidupkan sosok Chris Kyle. Tapi, hal tersebut hanya puncak dari gunung es jika dibandingkan dengan bagaimana komitmen Cooper untuk menunjukkan sisi rapuhnya. Dalam tatapan matanya, kita bisa melihat efek perang dan bagaimana julukan “The Butcher” mempengaruhi sisi psikologisnya. Seperti adegan di rumah sakit ketika seorang suster tidak segera mengurus bayinya, Cooper memperlihatkan jelas akting yang solid di sana.
Meskipun Oscar tidak memberikannya piala tahun ini —banyak orang berpendapat bahwa nominasi untuk Cooper mestinya diberikan kepada Jake Gyllenhaal yang begitu total dalam 'Nightcrawler'— kerja kerasnya terbayar dengan lunas. Ketika dirilis, film ini mendapatkan begitu banyak kritikan atas konklusinya. Apakah ini film anti-perang, atau justru pendukung perang? Anda bisa menyimpulkannya sendiri setelah menontonnya.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta.
(mmu/mmu)