Kala itu Deddy sama sekali tak punya informasi soal Tan Tjeng Bok. Dia sekedar membeli karena tertarik dengan sampul kaset yang dinilainya unik. Setelah mendengarkan suara nyanyian dan lawakannya, dia langsung suka. Kesukaannya kian bertambah setelah mengetahui perjalanan hidupnya dari buku Para Penghibur karya Fandy Hutari.
"Saya jadi makin penasaran dan tertarik untuk mengumpulkan lebih banyak lagi artefak seputar Tan Tjeng Bok," kata Deddy dalam acara bedah buku Tan Tjeng Bok Seniman Tiga Zaman beberapa waktu lalu.
Sarjana Ilmu Komunikasi lulusan Undip-Semarang pada 2003 itu tak cuma berburu kaset. Flyer, film, artikel di majalah atau koran menjadi buruannya saat ke toko buku bekas atau berselancar di toko online. Saat ini, lelaki asal Semarang itu telah mengoleksi 72 kaset lawak dan lagu keroncong, serta 23 buah film dan flyer film.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deddy mengaku flyer film, "Melarat tapi Sehat" (1955) membuatnya tersenyum. Dia mendapatkannya dari seseorang di Purwokerto. "Koleksi yang paling sulit dicari adalah piringan hitam lagu-lagu Tan Tjeng Bok. Ada yang punya tinggalnya di Bandung dan Manado tapi mereka tak mau jual," kata penulis skenario Tukang Bubur Naik Haji dan Awas Ada Sule itu.
Pada pertengahan 2017, Deddy berkenalan dan berbincang langsung dengan Fandy. Dipamerkan sejumlah koleksinya kepada periset dan pengarsip yang pernah kuliah di jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran itu.
"Kami berjumpa dan ngobrol ngalor-ngidul di sebuah kantin di Pal Merah. Saya setuju ketika mas Deddy mengutarakan niatnya untuk bersama membuat biografi Tan Tjeng Bok," kata Fandy di acara yang sama.
Selain Para Penghibur, dia telah menerbitkan tiga buku lainnya yakni Sandiwara dan Ombak, Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal, serta Manusia dalam Gelas Plastik.
Meski tak sebanyak koleksi Deddy, dia mengaku punya selebaran film Sengsara dan beberapa judul film yang didapat dari kolektor di Rancaekek, Bandung. Untuk kaset dia cuma satu kaset keronong berjudul Keoncong Asli Tempo Doeloe bersama Tan Tjeng Bok. Kaset itu dibelinya di kawasan Blok M, Jakarta. "Sayang pita kasetnya tidak ada sehingga tak bisa memutarnya ha-ha-ha," tutur Fandy.
Sebagai periset berlatar ilmu sejarah, dia mengaku kesulitan dalam menyusun buku ini. Salah satunya Tan Tjeng Bok rupanya kerap berubah-ubah dalam memberikan keterangan kepada wartawan. Misalnya soal klaim lelaki yang biasa dipanggil "Pak Item" pernah menikahi sampai seratusan perempuan.
Toh begitu, sejarawan Didi Kwartanada tetap memuji kerja keras dan ketekunan Fandy dan Deddy yang mampu menyusun sebuah buku dalam tempo setahun. Apalagi, kata dia, keduanya berhasil memberikan data dan informasi baru yang lebih akurat tentang sosok Tan Tjeng Bok yang legendaris.
Didi mencontohkan, lewat buku ini Fandy dan Deddy menyebut bahwa Tan Tjeng Bok bukanlah pendiri kelompok drama Dardanella seperti ditulis seorang guru besar musikologi. Pendiri Dardanella adalah imigran Rusia, Willy Klimanoff alias A. Piedro.
(jat/dar)