Di meja kerja tergeletak sehelai foto lama bergambar Ibu beserta kakak dan adiknya di Candi Borobudur. Sinta mendapat firasat kuat hilangnya sang ibu berkaitan erat dengan foto ini. Masalahnya, dia tak tahu apa-apa tentang Indonesia, negeri ibunya.
Sinta sejak lahir hingga dewasa hidup di India, negeri asal almarhum ayahnya. Ibunya tak pernah bercerita tentang Indonesia, juga tentang tanah leluhurnya di Desa Borobudur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernikahan direncanakan menggunakan tradisi India. Tahapnya kini menjelang lamaran. Keluarga Vikash sudah berkompromi bahwa Sinta menolak salah satu tradisi lamaran India, yakni calon istri menari di acara itu.
Namun tidak berhenti di situ. Dengan menghilangnya Widi, padahal acara lamaran tinggal sepekan ke depan, keluarga Vikash terpaksa sekali lagi memenuhi permintaan Sinta untuk menunda seminggu acara lamaran, berpegang pada pesan Ibu bahwa dia pergi selama seminggu.
Sementara itu di negeri lain, ada kehebohan di sebuah joglo tua di Desa Borobudur, menyusul kemunculan mendadak Widi. Dia datang setelah ditelpon adiknya, Dimas (Dian Sidik), mengabarkan ayah mereka meninggal.
Hampir 30 tahun lalu Widi minggat dari desa, kawin lari dengan laki-laki India yang membuat cemar nama keluarga. Pasalnya bapak mereka adalah keluarga bangsawan dan sangat dihormati masyarakat. Masa anak gadisnya kawin lari?
Baca juga: 26 Tahun Vakum, PFN Lahirkan Film Baru |
Sejak itu Bapak murung. Mbak Dewi (Ria Irawan), si sulung, terpaksa meninggalkan kuliah, dan segera turun tangan membereskan urusan keluarga, salah satunya rumah kontrakan.
Mbak Dewi tak sempat lagi memikirkan urusan pribadi, pun dia tidak menikah sampai sekarang. Mantan tunangannya malah sekarang jadi salah satu penghuni kontrakan.
Boleh dibilang Mbak Dewi dulu orang yang paling kalang kabut seperginya Widi. Maka tak heran jika kini dia menganggap angin saja terhadap kepulangan adiknya.
Dan, tanpa ada yang dapat menduga, Sinta sudah sampai juga di rumah joglo itu. Ibu dan anak ini kemudian mencari jawaban atas pertanyan-pertanyaan yang selama ini menggelayut tentang apa yang terjadi dahulu, tentang keberadaan Sinta, tentang ketidaksukaan Widi jika Sinta menari, tentang Mbak Dewi yang menutup diri, juga tentang bapak mereka yang bangsawan.
Kuambil Lagi Hatiku menjadi film pertama Perum Produksi Film Negara (PFN) setelah 26 tahun tidak berproduksi. Ide cerita Kuambil Lagi Hatiku dari PFN, yang kemudian dikembangkan Wahana Kreator Nusantara dan Taman Wisata Candi.
PFN adalah Badan Usaha Milik Negara yang berkiprah dalam bidang perfilman. Film keluaran PFN antara lain Antara Bumi dan Langit (1950), Orang-orang Laut (1980), Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1982), Pelangi di Nusa Laut (1992), dan Surat untuk Bidadari (1994).
Karena film terakhir yang diproduksi sudah 25 tahun lalu, dan dalam rentang waktu tersebut banyak perubahan terjadi dalam tren perfilman Indonesia, mau tak mau PFN berupaya mengikuti tren terbaru.
Hal ini tampak dari khotbah panjang karakter utama nyaris tidak ada, pesan sponsor diselipkan dalam visual, alur cerita dibikin tidak sederhana, plot-twist diperhatikan benar, serta tak lupa, unsur komedi diberi porsi lumayan besar dalam film drama ini.
Contoh lewat karakter Dimas yang berotot, mengidolakan Rambo, tapi penakut. Dimas selalu memasang karyawan penginapannya tiap kali didatangi debt collector, dan mundur paling duluan ketika kampung butuh sejumlah laki-laki menghadapi penjahat.
Karakter yang dimainkan Dian Sidik ini mengingatkan kita pada karakter serupa yang dia perankan di Calon Bini (2019). Walau Dian memainkan dua karakter itu dengan baik, dia mesti hati-hati jangan sampai terjebak dalam stereotipe untuk peran-peran selanjutnya.
Selain karakter Dimas, porsi komedi dikentalkan oleh kehadiran Tarsan, Ence Bagus, Yati Pesek, dan Marwoto yang menyuguhkan dialog-dialog segar.
Kuambil Lagi Hatiku menampilkan tiga bahasa, yakni Indonesia, Hindi (India), Jawa, dan Inggris. Di layar, tercantum subtitle bahasa Indonesia (jika dialog bukan bahasa Indonesia) dan Inggris (untuk semua dialog).
Artinya butuh waktu lebih lama menyesuaikan kuping mendengarkan tiga bahasa, yang tak jarang diucapkan dalam satu kalimat,lantas memilih untuk membaca subtitle atau tidak di tiap dialog.
Pe-er ini ditambah dengan tidak cukup lamanya kamera menyorot dekat (zoom-in) ke, katakanlah, foto Widi tiga bersaudara di Candi Borobudur, atau dialog tertulis dalam pesan pendek di ponsel.
Zoom-in foto dan percakapan di layar ponsel itu bisa ditampilkan lebih lama untuk memberi waktu otak penonton beradaptasi lalu mencerna, sekaligus menghindarkan kelelahan akibat audio dan visual terlalu ramai dan cepat berganti.
Dapat dipahami jika skenario yang dibuat Arief Ash Shiddiq dan Rino Sardjono menyimpan jawaban-jawaban di bagian akhir. Namun adegan awal semestinya "selesai" juga dari segi cerita, bukan sekadar pancingan untuk diselesaikan di bagian akhir.
Misalnya Sinta yang menolak menari di acara lamaran tanpa menyebut satu saja alasan singkat mengapa dia tidak mau menari di acara sepenting itu. Sinta hanya bilang tidak mau sambil marah-marah. Jangankan Vikash dan keluarga, penonton saja bingung.
Sebagai penanda berproduksinya kembali PFN, Kuambil Lagi Hatiku cukup menjanjikan. Film ini sekaligus memperkenalkan destinasi wisata di kawasan Borobudur selain candi. Ada penginapan berdinding kayu yang dikelola Balkondes, hutan jati, dan perbukitan yang mengelilingi lembah. Menurut anak zaman now, sangat Instagramable. (nkn/nkn)