Rumah produksi tersebut kini sudah berdiri selama satu dekade. Padahal awalnya, Visinema bergerak lewat program Save Mentawai untuk membantu korban gempa bumi di sana. Sejak 2010, mereka tidak membuat produksi apapun karena fokus pada program tersebut.
"Sebenarnya kami sudah berdiri dari 2008, waktu itu kita bikin film, konsep dan skrip 'Hari untuk Amanda'. Cuma waktu itu kita belum punya kapasitas untuk memproduksi, merilis dan mendistribusikan sendiri, jadi kami masih servicing. Kami jual ke MNC Pictures, kami dikasih dana sama mereka dan film itu jadi milik mereka," ungkap Angga Dwimas Sasongko.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah itu, kita nggak semata-mata terima brief dari klien. Pengalaman Mentawai itu jadi kayak inspirasi buat kita supaya pakai medium untuk melakukan sesuatu yang lebih untuk nggak sekadar cari duit," ujarnya.
Sementara pada 2013, mereka memutuskan berhenti membuat komersial proyek. Mereka pun mulai fokus membuat konten sendiri, dengan mencari dana sendiri, dirilis sendiri dan didistribusikan sendiri.
"Sehingga membuat apa yang mau kita bikin benar-benar penyampaian suara kita sendiri. It's our own story, bukan cerita orang lain," tuturnya.
Visinema memulai dengan 'Cahaya dari Timur' yang selesai 2014. Menurut Angga, film tersebut dibuat dengan setengah mati karena banyak yang menganggap juga Visinema belum bisa membuat film sebesar itu.
"Tapi kalau kami mau mengubah image dari rumah produksi yang kerjaannya bikin pesanan orang menjadi film company yang kerjanya merilis karya sendiri memang harus mengerjakan sesuatu yang besar, bukan film kecil. Sesuatu yang mendobrak supaya orang bisa melihat kita ada," ujarnya.
(nu2/srs)