Pesta dengan tema Afro-futurism itu memicu diskusi dari seluruh akademisi yang hadir. Orang-orang Afrika-Amerika memperlakukan 'Black Panther' sebagai proposal untuk mempengaruhi budaya Hollywood.
Ini akan jadi film pertama di jagad cinematic Marvel yang sebelumnya sudah mencakup pahlawan seperti Iron Man, Spider-Man hingga superhero lain dari komik berusia 80 tahun itu. Film ini disutradarai oleh Ryan Coogler, sutradara muda Afrika-Amerika yang sebelumnya menggarap 'Fruitvale Station' dan 'Creed', yang memenangkan banyak penghargaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Di tengah momen budaya dan politik regresif yang sebagian didorong oleh gerakan white-nativist, keberadaan Black Panther terasa seperti perlawanan," tulis Jamil Smith di majalah TIME.
Sebuah petisi di Change.org saat ini bahkan menuntut agar Marvel dan Disney menyumbang 25 persen keuntungan film tersebut kepada masyarakat kulit hitam untuk mendanai program yang berfokus pada sains, teknologi, teknik dan matematika.
"Seiring masyarakat kulit hitam di seluruh Amerika Serikat terus bergumul dengan isu-isu seperti gentrifikasi, kebrutalan polisi, dan kondisi kehidupan di bawah standar, kita tidak dapat terus-menerus sembarangan mendukung konglomerat ini, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan keuntungan dari kita tanpa menuntut sesuatu yang lebih dari sekedar produk. Ketidaksetaraan pendapatan itu nyata, dan terus menurunnya kekayaan hitam adalah sesuatu yang tidak perlu hanya diatasi, tapi dipecahkan," begitu bunyi petisi tersebut.
Ini bukan pertama kalinya sebuah film diharapkan bisa melayani kebutuhan masyarakat kulit hitam di luar nilai hiburannya. Hampir 50 tahun yang lalu, sebuah kelompok juga menuntut agar industri film menyumbangkan hasil dari filmnya ke bank dan insitusi milik kulit hitam dan mengancam untuk memboikotnya jika tidak.
Dorongannya memang sangat berbeda saat itu. Ada kelompok yang mengajukan tuntutan terhadap Hollywood karena mereka marah dengan kualitas film kulit hitam yang ditawarkan kepada publik.
Dua film itu adalah 'Shaft' dan 'Superfly' yang menggambarkan argumentasi pahlawan super kulit hitam pertama di layar perak era 70'an. 'Shaft' adalah cerita mengenai seorang detektif kulit hitam yang menghadapi mafia Italia.
Sementara 'Superfly' adalah cerita tentang pengedar narkoba yang berharap bisa menunggangi sebuah Cadillac mewah di masa pensiunnya. Kedua film tersebut dikritik karena menjajakan stereotip pria kulit hitam sebagai wakil penguasa dan pemangsa seksual di era film yang maskulin.
(nu2/nu2)