Seperti kebanyakan origins story proyek reboot lainnya, kisah 'Power Rangers' ini dibikin dengan musik mengentak-entak dan pemain-pemain baru yang masih kinyis-kinyis. Filmnya dibuka layaknya sebuah tribute kepada 'The Breakfast Club'-nya John Hughes. Atlet terkenal satu sekolahan yang kini menjadi pemberontak bernama Scott/Ranger Merah (Dacre Montgomery) terpaksa harus menjalani detensi di hari Sabtu bersama siswa-siswi lainnya.
Di sana dia bertemu dengan Kimberly/Pink Ranger (Naomi Scott), mantan anak gaul yang sekarang tidak mempunyai teman. Di detensi itu pulalah, Scott yang memang tidak bisa melihat orang lain di-bully, menolong Billy/Blue Ranger (RJ Cyler, diimpor dari indie pemenang Sundance 'Me, Earl and the Dying Girl') yang akhirnya menuntunnya ke tambang emas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itulah mereka menyadari bahwa mereka bukan lagi manusia biasa. Begitu bertemu denga Zordon (Billy Cranston), mereka tahu bahwa mereka mempunyai misi untuk menyelamatkan Bumi dari tangan Rita Repulsa (Elizabeth Banks).
Ditulis oleh John Gatins, 'Power Rangers' tidak menawarkan hal baru dalam konteks "film perkenalan". Semuanya dibuat dengan standar yang sudah pernah kita lihat sebelumnya. Unsur film remaja John Hughes bisa Anda temukan di sepanjang film, terutama di adegan api unggun. Klimaksnya pun standar, berantem di tengah jalan raya. Tidak pernah ada rasa ancaman kuat dari sang penjahat untuk membuat Anda peduli kepada karakter-karakternya. Mungkin karena pembuat filmnya sengaja main seaman mungkin agar bisa dijangkau semua umur.
Tapi, paling tidak dalam 'Power Rangers' versi 2017 ini pembuatnya berani memasukkan karakter yang autistik dan LGBT. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh film berbujet ratusan juta dollar kebanyakan.
Sang sutradara, Dean Israelite, mencoba segalanya untuk membuat ini nampak lebih dewasa dari skripnya. Israelite yang juga menyutradarai film yang hampir mirip beberapa waktu silam dengan judul 'Project Almanac', membuat film ini penuh energi dengan banyaknya hand-held kamera dan editing yang melaju dengan kencang. Musik-musiknya pun meneriakkan kata-kata kekinian dengan barisan lagu dari Kanye West dan musisi millenial lainnya.
Namun sayang, para pemeran Ranger ini tidak mempunyai skill akting yang mumpuni selain wajah-wajah yang rupawan dan kondisi fisik yang prima. Mereka nampak seru jika adegan tidak mengharuskan mereka untuk berakting keras. Namun, begitu cerita memaksa mereka untuk mengeluarkan emosi, aktor-aktor muda ini nampak kosong dan hampa.
Sebagai tontonan anak-anak, 'Power Rangers' masih menghibur dan akan membuat mereka tenang. Tapi, bagi yang menginginkan tontonan yang lebih berbobot, atau justru ingin mengenal (kembali) pahlawan 90-an Anda, film ini bukanlah tontonan untuk Anda.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta. (mmu/mmu)