Mengintip Sejarah Lewat 'Ziarah'

Mengintip Sejarah Lewat 'Ziarah'

Dyah Paramita Saraswati - detikHot
Jumat, 24 Feb 2017 13:35 WIB
Foto: Dok. Twitter Film Ziarah
Jakarta - Ketika mengangkat sejarah ke dalam film, beberapa sineas seringkali mengangkat wacana besar tentang peperangan atau peristiwa penting yang sudah kerap muncul di halaman buku resmis. Menghindar dari hal itu, mungkin yang membuat 'Ziarah' begitu terasa spesial.

'Ziarah' mencoba mengangkat wacana-wacana kecil yang melingkupi dan menjadi bagian dalam sejarah. Bagaimana kehidupan terus berjalan selepas perang dan kemerdekaan, dan adanya pahlawan-pahlawan yang namanya tidak tercantum dalam buku pelajaran sekolah, namun turut berkorban untuk negeri ini.

Film ini dibuka dengan adegan pemakaman yang syahdu. Cerita film ini berfokus pada Mbah Sri (Ponco Sutiyem), yang hidup bersama cucu laki-lakinya, Prapto (Rukman Rosadi).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mbah Sri yang berusia 90 tahun telah lama terpisah dari suaminya, Pawiro Sahid, yang ikut perang Agresi Militer Belanda ke-2. Tak tahu di mana rimba suaminya, Mbah Sri mengatakan, ia mendengar suara-suara yang mengatakan suaminya sudah tenang di alam sana.

Cerita pun bergulir dengan Mbah Sri yang mencari makam sang suami. Berbagai cara dilakukan, dari menemui orang-orang yang sezaman dengan suaminya dan masih hidup, hingga mengandalkan mistik keris untuk menunjukkan arah, ke mana dirinya harus berjalan. Sementara itu, Prapto sang cucu dibuat repot oleh kelakuan nekat neneknya, yang pergi tanpa pamit.

Di tengah kesibukannya merencanakan pernikahannya, Prapto terpaksa mencari sang nenek, dan perjalanannya menjadi kisah napak tilas tersendiri pada sejarah sang kakek. Ia pun menemui para veteran untuk melacak jejak, kira-kira ke mana neneknya pergi.

Dua perjalanan yang beriringan, dari seorang nenek dan cucunya, keduanya sama-sama mencari, dengan motifnya sendiri-sendiri. Barangkali, proses pencarian dengan berita yang simpang siur tersebut mencoba memberikan pandangan lagi tentang sejarah. Bahwa tak selamanya sejarah bersifat tunggal. Justru, dengan adanya banyak versi cerita tersebut, manusia dapat lebih bijak dalam menyikapinya.

Tak hanya mencoba menampilkan wacana kecil dari sebuah sejarah, film besutan sutradara BW Purba Negara ini juga menunjukkan kepada penonton bagaimana seseorang harus ikhlas melepas dan berdamai dengan masa lalu.

Dalam film ini, begitu banyak simbol-simbol yang ditampilkan. Simbol-simbol tersebut kemudian menjadi pamungkas dari film ini. Misalnya, adegan ketika Mbah Sri melarung kerisnya.

Yang membuat film ini semakin menarik, dialog tokoh-tokohnya menggunakan bahasa Jawa halus, dan melibatkan kehidupan masyarakat pedesaan, yang terbentang dari Bantul hingga Wonogiri. Mbah Sri, juga Prapto, dengan 'Ziarah'-nya, lagi-lagi, mengangkat wacana yang jarang atau bahkan mungkin belum pernah diangkat oleh film-film lainnya.

Film ini dapat menjadi penyegaran bagi layar film Tanah Air yang ramai oleh film-film berlatar perkotaan penuh problem nan glamor. Diputar di ajang Plaza Indonesia Film Festival 'Love Philosophy' yang digelar pada 22 hingga 24 Februari di Plaza Indonesia XXI, Jakarta, 'Ziarah' sekaligus menandai premier-nya sebelum nanti diputar secara reguler di bioskop.

(srs/mmu)

Hide Ads