Pada saat yang bersamaan, pihak bioskop terus menambah jumlah layar setelah pemutaran hari pertama, Kamis (19/1) penonton membludak. Yang tak kalah menarik, film ini juga mendorong generasi muda untuk membaca kembali puisi-puisi Wiji Thukul, salah satunya terlihat dari sebuah acara yang digelar di tengah Car Free Day (CFD) di Jalan Slamet Riyadi Solo, Minggu (22/1)
Dari polemik, tambah layar hingga acara baca puisi, setidaknya menunjukkan bahwa film tersebut berhasil merebut ruang perhatian publik untuk membicarakan kembali penyair yang hilang di tengah huru-hara Reformasi 98 itu. Tak hanya Wiji Thukul, total masih ada 12 orang aktivis yang hingga kini lenyap tak tentu rimbanya menjelang dan setelah jatuhnya Soeharto sembilan belas tahun lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberatan yang umumnya muncul atas 'Istirahatlah Kata-kata' tertuju pada fokus pengisahan yang dipilih oleh sang sutradara, sekaligus penulis skenarionya. Yosep Anggie memilih masa pelarian Wiji Thukul di Pontianak sebagai cerita utama, yang diselang-seling dengan penggambaran kondisi istrinya, Sipon di Solo dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil, yang terus diawasi aparat keamanan.
Sejumlah kritik dan keberatan menyebutkan, bahwa pemilihan fokus cerita tersebut mengaburkan sosok Wiji Thukul yang radikal dan penuh perlawanan. Filmnya dinilai terlalu simbolis, sibuk pada 'episode' kesunyian dan ketakutan sang penyair dalam pelarian, sehingga citra heroik sang penyair sebagai aktivis radikal seolah terpadamkan.
Kekecewaan lain tertuju pada pemilihan judul yang terkesan "jinak", termasuk pemilihan puisi-puisi yang ditampilkan dalam film. Tak ada baris puisi paling terkenal dari Wiji Thukul yang menjadi jargon kaum Reformis masa itu, yang berbunyi "hanya satu kata: lawan". Sehingga, sebagai sebuah biopik tentang seorang penyair yang melawan ketidakadilan kekuasaan dengan suara lantang, film 'Istirahatlah Kata-kata" dinilai menghilangkan banyak "common sense" yang identik dengan kepenyairan dan aktivitas Wiji Thukul.
Tambah Layar (Lagi)
Film 'Istirahatlah Kata-kata' awalnya hanya diputar di 19 layar bioskop jaringan 21, CGV Blitz dan Cinemaxx di seluruh Indonesia. Namun, dengan tingginya minat publik menonton film tersebut, pihak bioskop pun langsung menambah jumlah layar pada hari kedua, Jumat (20/1).
Tak hanya layar yang bertambah, namun kota lokasi pemutaran juga bertambah, dari 15 menjadi 17 kota. Kota baru yang memutar film tersebut adalah Singkawang, Kalimantan Barat dan Depok, Bogor, Jawa Barat. Sementara penambahan layar terjadi di Bandung, Purwokerto, Solo, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar.
Dan, mulai Sabtu (21/1) layar kembali bertambah, yakni di Jakarta dan Bekasi. Jakarta menambah 3 layar (Cipinang XXI, Gading 21 dan CGV Blitz Grand Indonesia) menjadi 7, dan Bekasi menambah 3 layar (Grand Mall 21, Mega Bekasi XXI dan CGV Grand Galaxy Park) menjadi 4. Selain itu, Bogor dan Yogyakarta juga bertambah layar lagi masing-masing satu. Di Bogor, kini 'Istirahatlah Kata-kata' juga bisa disaksikan di BTM 21, dan di Yogyakarta publik juga bisa menyaksikannya di CGV Hartono Mall.
Baca Puisi
Sebuah komunitas bernama 'Bibit Puisi' hadir dua pekan sekali saat hari bebas kendaraan bermotor (CFD) di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Mereka menyiapkan panggung kecil untuk pembacaan puisi, dan beberapa bibit tanaman yang akan dibagikan gratis. Puisi-puisi ditulis di kertas kecil, ditempelkan di pot mungil yang berisi bibit tanaman.
Mengiringi momen pemutaran film 'Istirahatlah Kata-kata', edisi Minggu (22/1) kemarin mereka menggelar pembacaan puisi edisi khusus Wiji Thukul. Acara ini terbuka bagi siapapun untuk ikut bergabung membacakan puisi.
Saksikan video 20detik di sini:
(mmu/mmu)