Adalah Mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang menjadi tokoh sentral dalam film ini. Wanita renta berusia 95 tahun itu dikisahkan telah lama ditinggal oleh suami yang wafat ketika perang Agresi Militer Belanda kedua, hingga hanya meninggalkan dirinya yang kini hidup bersama sang cucu (Rusman Rusadi).
"Aku selalu mendengar suara yang mengatakan untuk melepaskannya, ia sudah tenang di sana," ujar Mbah Sri kepada cucunya.
Namun ternyata hal tersebut justru menjadi awal perjalanan Mbah Sri untuk mencari makam suaminya, Prawiro Sahid hingga ke pelosok-pelosok daerah di Yogyakarta. Demi satu tujuan, bisa dimakamkan bersebelahan dengan sang suami. Sedangkan cucunya yang sudah ngebet kawin, terpaksa menunda rencananya itu karena sang nenek kabur tanpa meninggalkan pesan kepadanya.
Durasi film dihabiskan oleh perjalanan Mbah Sri dan juga sang cucu yang mencari --napak tilas-- jejak sang kakek lewat para veteran perang dan rekan seperjuangannya. Berbagai versi cerita tentang sang kakek seolah menjadi perjalanan tanpa ujung bagi mereka berdua.
Lewat kesederhanaannya, film ini justru bagaikan memberi tamparan akan nilai-nilai sosial yang semakin lama menghilang dalam masyarakat modern. Banyak pesan yang disampaikan, seperti saat Mbah Sri bercerita kepada salah satu veteran perang.
"Saya pernah melihat seorang nenek mengatakan pada cucunya bahwa itu makam kakeknya yang meninggal saat membela negara. Saya ingin mengatakan hal itu juga" ujarnya.
Dialog film ini menggunakan Bahasa Jawa. Syuting berlangsung selama 20 hari. Namun, yang paling lama adalah pemilihan pemerannya. Sebab, sang sutradara tetap ngotot mencari pemain berusia di atas 90 tahun untuk mempertahankan otentisitas tokoh Mbah Sri sesuai skenario. Begitu pula dengan tokoh veteran perang yang muncul di film ini, semuanya asli. Sehingga, membuat dialog-dialog sejarah yang disajikan menjadi semakin hidup.
Saat diputar di ajang JAFF 2016 di Yogyakarta, film yang langsung ludes tiketnya sejak pemesanan dibuka ini mampu membuat sejumlah penonton menangis. Wajar jika apresiasi tinggi dari para penikmat film diberikan pada film sederhana karya BW Purba Negara yang kaya makna ini, di tengah masyarakat yang mulai lupa nilai-nilai dan perjuangan para leluhur.