'The Window': Misteri Keluarga Dewi

'The Window': Misteri Keluarga Dewi

Shandy Gasella - detikHot
Senin, 16 Mei 2016 17:25 WIB
The Window: Misteri Keluarga Dewi
Jakarta - Ada hal tak biasa yang kita jumpai ketika menonton β€˜The Window’ karya Nurman Hakim (β€˜3 Doa 3 Cinta’, β€˜Khalifah’) ini. Sesaat sebelum film dimulai, kita diberikan sepotong trailer yang menyatu dengan film yang akan kita tonton tersebut. Dan, trailer yang dimaksud bukan promo film lain seperti yang lumrah kita jumpai selama ini, melainkan trailer β€˜The Window’ itu sendiri. Nanti, setelah tuntas menyaksikan film ini, mungkin Anda baru menyadari apa fungsi secuplik trailer itu ditaruh di depan film.

Di awal film kita langsung berkenalan dengan tokoh utama, Dewi (Titi Rajo Bintang, β€˜Rayya Cahaya di atas Cahaya’), seorang karyawan perusahaan survei konsumen di Jakarta yang tengah mewawancarai beberapa orang tentang banyak hal. Hal-hal yang ia tanyakan terdengarΒ random namun sepertinya dibutuhkan untuk keperluan kliennya. Ada pertanyaan tentang seberapa sering seorang membuka pintu kulkas dalam sehari. Ada juga narasumber yang bercerita tentang betapa kejinya ia telah membunuh anggota keluarganya sendiri dengan menggorok leher mereka.

Dewi merekam wawancara itu dengan kamera video, dan sang sutradara meletakkan potongan-potongan β€œvideo pengakuan” tadi di awal film sebagai klip-klip video utuh, persis seperti opening scene film β€˜cin(T)a’ (Sammaria Simanjuntak, 2009). Orang-orang itu berbicara kepada kita (penonton), dan kita merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang nyata. Pembuat film ini ingin agar kita sebagai penonton mempercayai kisah-kisah mereka. Demikianlah, alkisah, sepulang kerja Dewi bergegas ke kosannya. β€œJangan lupa pakai jilbab, nanti kamu dikira Cina lho!” pesan teman kerjanya mengingatkan sesaat sebelum ia meninggalkan kantor. Dan, kita pun seperti diingatkan bahwa film yang sedang kita tonton ini berlatar 1998, tahun kelam yang sempat membuat Jakarta menjadi medan perang saudara yang mengerikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sesampainya di kosan, Dewi dikejutkan oleh kedatangan sepucuk surat dari Jogja, dan potongan berita surat kabar tentang kakaknya, Dee yang cacat mental, hamil secara misterius. Ibunya sendiri menganggap hal itu sebagai mukjizat, seperti Bunda Maria yang mengandung Yesus. Lantaran hal itu, setelah sepuluh tahun meninggalkan Jogja, Dewi pun memutuskan pulang kampung. Di Jogja Dewi bertemu dengan ibunya yang penurut (terhadap suami), Dee yang tengah hamil dan hanya berbaring di atas ranjang, bapaknya yang, entahlah, saya sulit menemukan kata-kata untuk menggambarkan karakternya secara tepat. Ditambah, tetangga barunya, Priyanto, seorang pelukis, dan Mas Joko, teman lama Dewi yang masih menaruh hati terhadapnya. Dari sini cerita lantas bergulir secara perlahan.

Dewi tak percaya bahwa kakaknya dihamili roh kudus. Ia (dan kita sebagai penonton) digiring untuk menduga-duga bahwa bapaknya sendirilah yang menghamili Dee. Lalu, ada cerita sampingan tentang Dewi dan Priyanto yang menjalin kisah asmara, yang membuat Joko cemburu buta. Lapis demi lapis cerita, dan lapis demi lapis karakter, secara perlahan ditampilkan kepada kita dalam mood film yang murung, misterius, sekaligus menawan.

Betulkah bapak yang menghamili Dee? Kenapa ibu diam saja selama ini? Pertanyaan-pertanyaan ini berkecamuk dalam diri Dewi, dan secara perlahan seiring film bergulir lewat serangkaian peristiwa yang ditemuinya, ia dibuat percaya bahwa hal tersebut memang bisa saja terjadi. Ia, juga kita sebagai penonton, ingat video pengakuan tentang seorang yang begitu kejinya dapat membantai anggota keluarganya sendiri di awal film tadi.

Landung Simatupang (β€˜Optatissimus’, β€˜Sang Penari’) sebagai Bapak berhasil memperlihatkan kemampuan aktingnya yang bukan main. Lantaran porsi perannya yang cukup besar di film ini, maka setiap kali tokoh Bapak yang ia perankan muncul, saya menahan napas. Landung begitu berkharisma, kuat, dan meninggalkan kesan yang tak kan mudah dilupakan untuk waktu yang lama. Karlina Inawati (β€˜Pasir Berbisik’, β€˜Untuk Rena’) sebagai Ibu pun bermain sama baiknya. Lewat gestur dan pembawaan yang ia berikan, kita percaya dan dapat memahami karakternya. Eka Nusa Pertiwi (β€˜Mata Tertutup’) sebagai Dee secara mengagumkan mampu menipu saya dalam perannya sebagai gadis cacat mental yang menjadi kunci cerita film ini. Yoga Pratama (β€˜3 Doa 3 Cinta’) sebagai Joko, dan Haydar Salish sebagai Priyanto (Mas Gatot dari β€˜Siti’) mampu mengimbangi para pelakon hebat di film ini. Dan, tentu saja bintang utama kita, Titi Rajo Bintang, lagi-lagi bermain prima. Kemelutnya adalah kemelut kita, dan Titi berhasil melibatkan kita dengan amat meyakinkan.

Film ini dibuat dengan begitu baik hampir di setiap lini; sinematografi dari debutan Billy Tristiandy yang menghipnotis, dalam ilustrasi musik dari Djaduk Ferianto yang terdengar aneh, mengganggu, namun sekaligus terasa mistis dan ritmik. Bila film ini memiliki kelemahan, cacatnya hanya dua; pertama, film ini ber-setting Jogja, namun karakter-karakternya berbicara dalam bahasa dan logat khas orang Jakarta. Kedua, ada colokan listrik di dalam gerbong kereta tahun 1998?

Sutradara sekaligus penulis naskah Nurman Hakim (bersama Nan Achnas) menghadirkan kisah penuh dilema moral yang akan terus menghantui kita selepas filmnya usai. Dilema moral yang, mau tak mau, selepas mengikuti jejak hidup Dewi, kita terbawa untuk ikut menanggungnya. Salah satu film terbaik tahun ini, sejauh ini. Jika Anda hanya dapat menonton satu film saja dalam pekan ini, maka β€˜The Window’ bolehlah jadi pilihan.

Shandy Gasella pengamat perfilman



(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads