'Bulan Terbelah di Langit Amerika', Haru Biru Menjaga Keyakinan dan Kehormatan

Jakarta - Dalam film '99 Cahaya di Langit Eropa', Hanum membangun kebanggaan kaum muslim dengan menapaki jejak sejarah kekaisaran Islam di masa lalu yang sempat berjaya menguasai Eropa. Penonton diajak ke Bukit Kahlenberg di Austria, Museum Louvre di Prancis, Hagia Sophia di Turki hingga Mezquita di Spanyol. Para karakter yang digambarkan dalam film juga bertindak sebagai agen perubahan, yang membalas tindakan diskriminatif dengan kelembutan dan perlakuan baik.

Sesungguhnya, Hanum (Acha Septriasa) dan Rangga (Abimana Aryasatya) masih berada di bawah langit yang sama. Bulan yang terbelah merupakan metafora terkoyaknya hubungan antarumat manusia setelah tragedi kemanusiaan 11 September 2001 di Amerika. Muslim menjadi momok, dan Islamophobia menjadi gelombang dahsyat yang mampu menyapu nilai-nilai kemanusiaan.

Dari Wina, Hanum sang jurnalis, mendapat tugas dari kantornya untuk membuat sebuah artikel 'Apakah Dunia Akan Lebih Baik Tanpa Islam?' Dia diharuskan mewawancarai Julia Collins (Rianty Cartwright) dan Sarah Hussein (Hailey Franco). Ibu dan anak itu sudah 8 tahun menjadi sasaran diskriminasi karena orang yang mereka cintai dituding terlibat sebagai salah satu teroris.

Dengan momen yang bersamaan dengan suaminya, Rangga yang tengah menyelesaikan tugas studi S3-nya di New York, mulailah petualangan Hanum mengungkap berbagai fakta tersembunyi di balik tragedi 9/11. Misinya adalah memberikan jawaban "Tidak" dari angle artikel yang diberikan.

Di Amerika, Hanum dan Rangga juga bertemu dengan Stefan (Nino Fernandez) yang masih menjadi penyegar alur cerita. Ada juga kekasih Stefan yang dibintangi Hannah Al Rasyid.

'Bulan Terbelah di Langit Amerika' diproduksi oleh Maxima Pictures yang disutradarai oleh seorang sutradara Rizal Mantovani. Proses produksi film ini di kota New York langsung, Amerika Serikat didukung oleh banyak bintang internasional antaranya Hailey Franco, Nur Fazura, Yaron Urbas, Ray Reynolds, dan Hans de Krakker, seorang mualaf bule yang juga aktor Indonesia.

"Film ini mencoba mengubah image muslim yang selalu disangkutpautkan atas kejadian pengeboman atau aksi terorisme. Selain itu juga menjadikan para umat muslim saling koreksi diri, apakah sudah melakukan hal yang baik?" kata Abimana.

Cerita film cukup membawa nuansa haru di beberapa bagian, apalagi ketika menemukan bahwa nilai-nilai kemanusiaan masih ada. Dialog-dialog menarik tentang agama dan kehidupan sosial juga diselipkan dengan mulus. Tapi, mungkin penonton akan sedikit terganggu dengan product placement yang 'terlalu mencolok'. (ich/mmu)