Film ’3’ dibuka dengan adegan meledaknya sebuah klub malam di tahun 2015. Lalu, kita disuguhi cuplikan-cuplikan berita tentang aksi terorisme yang dilakukan oleh para penganut agama Islam dari pelbagai paham aliran. Tindakan terorisme tersebut marak terjadi dari tahun ke tahun hingga sampailah kita pada 2036 dimana hampir semua warga Republik Indonesia menjadi “kafir”, dan menganut agama (Islam) merupakan hal tercela. Agama lain tak disinggung di film ini.
Tersebutlah Alif (Cornelio Sunny, ’The Sun, the Moon, and the Hurricane’), Lam (Abimana Aryasatya, ’Haji Backpacker’), dan Mim (Agus Kuncoro, ’Gangster’), tiga sekawan yang pada masa ABG sempat mondok bareng dan berguru ilmu beladiri di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Cecep Arif Rahman (lawan main Iko Uwais dalam ’The Raid 2’, saya tidak tahu nama karakternya di film ini). Di tahun 2036 itu, Alif adalah seorang anggota penegak hukum yang jujur. Namun, di satu sisi ia “munafik” karena menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi. Seluruh anggota penegak hukum lainnya diceritakan sebagai atheis dalam citra yang paling buruk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya merasa agak riskan untuk menelaah teks film ini yang sepertinya mencoba keras menyindir para pemeluk agama, khususnya Islam. Namun, pada saat yang sama pembuat film seolah-olah menistakan kaum atheis dengan cara yang tidak adil. Di film ini orang-orang muslim diceritakan sebagai kaum tertindas yang terdzolimi sehingga kemudian layak mendapatkan simpati, dan orang-orang atheis sebagai momok jahat yang layak untuk kita benci. Sehitam dan seputih itu.
Karakter-karakter di film ini tampil tanpa dimensi, terlebih Alif yang ironisnya merupakan tokoh utama. Cornelio Sunny tampak kewalahan menghidupkan karakternya yang oleh si penulis naskah diberikan dialog-dialog cheesy, dan tanpa perkembangan karakter berarti. Hal yang sama terjadi pada karakter Laras; Prisia Nasution yang sempat memukau tampil luar biasa sebagai Srintil dalam ’Sang Penari’ kali ini tak mampu berbuat banyak. Setiap tetes air matanya yang jatuh di film ini terbuang begitu saja bersama emosinya yang tanpa makna dan kesan apa-apa. Selipan kisah cinta antara Alif dan Laras ini jelas tak perlu ada, kecuali disampaikan lewat cara lain yang sayangnya tak dikuasai betul oleh pembuat film.
Abimana Aryasatya bernasib lumayan baik. Ia dapat bermain sedikit lebih asyik dibandingkan pemain lain sebab karakternya ditulis dengan sedikit lebih baik; kisah hubungan antara dirinya dengan anaknya memberi bobot lebih terhadap karakternya, walaupun di sisi lain hubungan Lam dan istrinya (diperankan oleh Tika Bravani) tak nampak meyakinkan sama sekali. Dan, Agus Kuncoro lagi-lagi harus tampil dalam karakter yang ditulis buruk untuk ia perankan. Karakternya tidak cukup kuat sehingga kharisma dan kepiawaiannya dalam berperan tak terpancarkan secara maksimal.
Dalam bercerita Anggy masih memakai template ala ’Comic 8’, rumit ngejelimet dengan twist di ending yang justru jadi bumerang dengan menampakkan bolong-bolong pada plot film. Adegan-adegan aksi tampil mengecawakan, kecuali Anda masih bisa terpukau dengan adegan slow-motion seperti yang ada di film-film bikinin Zack Snyder tahun 2000-an awal. Adegan kelahi di film ini sepenuhnya dibuat dengan teknik gaya slow-mo lalu dipercepat lalu di-slow-mo lagi lalu dipercepat lalu di-slow-mo lagi terus-terusan seperti itu, hingga kemudian yang patut diapresiasi itu bukan koreografi filmnya sendiri, melainkan sang penata gambar (Bounty Umbara).
Masalah terbesar film ’3’ adalah masalah kronis yang menjangkiti para sineas Indonesia: tidak mengenal target audience-nya. ’The Raid’ jelas membidik pasar penggila film action, film ’Comic 8’ membidik pasar para penggemar komika. Film ’3’ ingin menarik audience dari fans film action semisal ’The Raid’, tapi seharusnya pembuat film bisa menawarkan skill dan craftmentship yang membuat unsur action-nya dapat dicintai fans film action yang kaya referensi. Anggy Umbara jelas membuat ’3’ untuk kalangan itu, tapi usahanya dalam mengeksekusi adegan-adegan aksi di film ini hanya sebatas gaya, ditambah usahanya untuk sekalian berdakwah, malah membuat film ini jadi tidak asyik.
Anggy Umbara pembuat gimmick yang baik, tapi sebuah film mestinya bukan rangkaian bombardir gimmick, tapi storytelling. Dan bila menyangkut film action, berikan adegan-adegan aksi yang mencengangkan yang menampilkan aktor-aktornya seolah jago berduel, bukan (terlihat) jago karena dipermak editing.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)