UU Perfilman Tak Maksimal, PPFI Desak Pemerintah Keluarkan PP

UU Perfilman Tak Maksimal, PPFI Desak Pemerintah Keluarkan PP

Adhie Ichsan - detikHot
Selasa, 28 Jul 2015 14:50 WIB
Jakarta -

Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) melalui Ketuanya, Firman Bintang, menilai Undang-Undang nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman kurang diterapkan secara maksimal, terutama soal tata edar. Dia pun mendesak pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP).

Sejak dikeluarkan tahun 2009, lanjut Firman, UU Perfilman hanya dikuatkan oleh Peraturan Menteri. "Padahal seharusnya setahun setelah dikeluarkan undang-undang itu keluar PP. Karena tidak ada PP, pemilik bioskop mengatur (tata edar) sendiri," katanya saat ditemui di PPHUI, Kuningan, Jakarta Selatan.

Jika mengacu pada pasal 32 di UU perfilman, pelaku usaha pertunjukan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut. Tetapi kenyataannya menurut Firman tidak demikian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mencontohkan saat libur Lebaran lalu, ada empat film nasional yang tayang berdekatan, yakni 'Comic 8: Casino Kings', 'Mencari Hilal', 'Surga yang Tak Dirindukan', dan 'Lamaran'. "Tetapi tanggal 16 (Juli) masuk 'Ant-Man' (film produksi Hollywood) langsung diberi 500 layar, sementara jatah layar untuk keempat film nasional itu jika digabung semua tidak sampai segitu," katanya.

"Kami tidak anti film impor, tetapi tata edarnya harus diatur lagi," lanjutnya.

Saat ini data terakhir jumlah layar bioskop di Indonesia ada 1036 layar. Cinema21 memiliki 796 layar, Blitz Megaplex 100 layar, Cinemaxx 61, Platinum 18, New Star 16 dan bioskop independen ada 45 layar.

Jika dilihat dari sudut pandang penonton, skala produksi film nasional dengan film produksi Hollywood memang tidak apple to apple, apalagi saat diedarkan harga tiketnya sama. Maka tak heran jika mayoritas penonton yang daya belinya terbatas, cenderung memilih film blockbuster dari Hollywood.

Lalu bagaimana jika timbul wacana menurunkan harga tiket film nasional?

"Kami tidak ingin diperlakukan seperti itu. Mungkin lebih baik pajaknya saja yang dihilangkan," jawab Firman.

Selama ini tiket bioskop baik film impor maupun nasional, dikenakan pajak hiburan 10 persen. Tetapi di DKI Jakarta, 50 persen dari pajak tersebut dikembalikan lagi.

Firman mengatakan dari sekitar 80-90 judul film nasional yang diproduksi pertahun, terdapat 70 judul film yang merugi. Sedangkan untuk memproduksi film, menurutnya minimal menghabiskan bujet Rp 800 juta.

"Meskipun dilihat dari sisi bisnis buruk, tetapi kami ingin mempertahankan eksistensi film nasional. Karena jika tidak, bioskop akan diisi film impor semua," katanya.

Ia pun berharap keluarnya Peraturan Pemerintah (oleh Presiden) semakin menguatkan UU Perfilman untuk diterapkan sehingga tata edar lebih baik sesuai undang-undang. "Berilah kesempatan paling tidak satu minggu tayang. Setelah itu mungkin diatur juga jika kuota tidak memenuhi hingga batas waktu tersebut, bisa dikurangi atau diturunkan layarnya. Kalau sekarang baru dua hari tayang (dengan jumlah layar yang terbatas), langsung ambruk (diturunkan layarnya)."

Dengan tata edar yang sesuai undang-undang, Firman merasa film nasional akan lebih terlindungi, yang berujung pada bergeraknya roda industri dengan lebih sehat. Mengenai pembagian tata edar untuk film nasional, selanjutnya bisa diatur lagi sesuai dengan skala produksi film tersebut.

"Kami harap pemerintah segera keluarkan PP, jika tidak digubris kita akan class action," ucapnya. PPFI berencana mengirimkan surat resmi ke pemerintah pekan ini.

(ich/mmu)

Hide Ads