'7 Hari Menembus Waktu': Tergantung Cara Pandang Hamster

'7 Hari Menembus Waktu': Tergantung Cara Pandang Hamster

Shandy Gasella - detikHot
Kamis, 04 Jun 2015 13:20 WIB
7 Hari Menembus Waktu: Tergantung Cara Pandang Hamster
Jakarta - Terus terang, Nayato Fio Nuala adalah nyaris satu-satunya sutradara Indonesia yang membuat pendapat saya tentang dirinya selalu mantap; tak berubah tak lekang oleh waktu. Ketika dia membuat 'Ada Hantu di Sekolah' (2004), saya langsung beranggapan bahwa ia adalah salah satu sutradara yang tak bisa diandalkan untuk membangun perfilman Indonesia. Dan benar saja, selepas itu dia membuat serentetan film-film buruk dari mulai 'Panggil Namaku 3 X' (2005), 'Me Vs. High Heels - Aku Vs. Sepatu Hak Tinggi' (2005), '12:00 AM' (2005), 'Cinta Pertama' (2006), 'Ekskul' (2006), 'The Butterfly' (2007), 'Malam Jumat Kliwon' (2007), dan daftar ini bakal panjang sekali bila saya sebutkan puluhan judul lainnya yang telah ia hasilkan sejauh ini; lebih kurang ia sudah 70 kali menyutradarai film sejak 2003. Itu belum termasuk sejumlah jabatan lain yang ia sambi seperti penata kamera, line producer, desain produksi, hingga editor suara. Rata-rata ia menyutradarai 6-7 film dalam setahun. Bisa jadi ia telah mengantongi rekor MURI untuk prestasinya yang satu ini.

Nayato seharusnya bisa memilih materi dan mengeksekusi film ini dengan lebih baik sebab setelah lebih dari 12 tahun berkiprah di industri perfilman Tanah Air, pada akhirnya kini ia mempunyai semacam "nama besar”; dipercaya oleh produser dari PH besar (MD Pictures), PH yang melahirkan 'Merry Riana' (2014) dan 'Habibie & Ainun' (2012). Katakanlah ia memang tak lihai, tapi saya tetap menyayangkan kenapa dia tidak mau memilih materi yang lebih baik.

'7 Hari Menembus Waktu' diangkat dari chick lit karangan Charon, yang kemudian menulis naskah filmnya bersama Haqi Achmad. Ceritanya tentang Marissa (Anjani Dina), cewek galak nan manja yang karakternya persis seperti cewek-cewek jahat dalam sinetron yang saban hari tayang di TV. Singkat cerita, ia berpacaran dengan Michael (Brandon Salim, anak Ferry Salim --pemeran ayah Marissa di film ini). Michael ini cowok paling ganteng dan jadi idola nomer satu di sekolah, walaupun tak jelas dan tak meyakinkan pula penggambarannya dalam film. Marissa marah meledak-ledak saat Michael memutuskan hubungan mereka dan memilih cewek lain, Selina (Indah Permatasari), saingan Marissa di sekolah.

Tak terima perlakuan Michael, Marissa nyolot sana nyolot sini meluapkan emosinya yang meluber tak karuan, sampai pada akhirnya ia melihat lukisan antik di lorong sekolah. Tak ada angin tak ada hujan, lukisan itu pun kena semprot Marissa. Di depan lukisan itu ia bermohon , agar bisa lenyap saja, menghilang jauh-jauh dari Michael sang mantan. Dan ajaib, permohonannya terkabul.

Marissa terdampar ke tahun 1994. Di sana ia menemukan hidupnya yang baru; bertemu dengan cowok ganteng lain, William (Teuku Rassya), bersekolah di tempat yang baru, dan terlihat senang menjalaninya. Lalu, untuk bisa kembali ke tahun 2015, Marissa mendapati secarik kertas ajaib yang berisi tulisan yang menjelaskan bahwa dalam waktu tujuh hari ia harus mengubah semua sikap buruknya menjadi baik.

Ketika mendengar Nayato akan membuat film ini, saya semakin sedih karena merasa dia semakin menyia-nyiakan pengaruhnya yang sudah sekian lama ia bangun. Tapi, setelah menyaksikan film ini, saya berpikiran lain; mungkin memang seginilah kapasitas Nayato. Dia tidak akan ke mana-mana lagi. '7 Hari Menembus Waktu' adalah Nayato dalam permainan yang paling dikuasainya. Ringan, dangkal, dan simplistik. Dan saya rasa ucapan saya di awal tulisan ini ihwal dirinya memang benar adanya, dan saya tidak akan pernah menuntut lebih banyak lagi.

Charon dan Haqi Achmad ('Poconggg juga Pocong', 'Refrain') menulis karakter-karakter anak SMA di film ini teramat karikatural. Misalnya tokoh Marissa yang diperankan Anjani Dina, adalah gabungan dari beberapa template karakter-karakter pengisi sinetron Tanah Air: Jessica (musuh Lala dalam sinetron 'Bidadari') + Rere (Alice Norin dalam 'Tukang Bubur Ingin Naik Haji) + hamster. Hasilnya memang tak buruk-buruk amat, tergantung bagaimana cara pandang Anda terhadap hamster. Duo penulis naskah Charon dan Haqi alih-alih mencoba untuk mengembangkan cerita, mereka hanya menitikberatkan skenarionya pada cute factor. Marissa yang tadinya ngoceh terus dan sebal dengan William, cowok yang baru dikenalnya, akhirnya setelah melalui proses yang sudah basi sekali, timbullah percikan cinta di antara mereka. Marissa jadi kalem dan baik hati, lalu lambat laun kita digiring ke pengujung cerita yang sudah kita ketahui bakal berakhir seperti apa.

Nayato tidak berusaha sedikit pun untuk membuat cerita yang basi tersebut jadi terlihat segar. Dia malah sibuk mengambil gambar-gambar rerumputan di malam hari di bawah sinar rembulan dan menempatkan kedua tokoh utama kita gegoleran di sana karena menurutnya itu keren. Satu lagi, film ini juga tak cukup terampil membangun dunia era 90 yang menjadi sebagian besar latar ceritanya; bermain aman saja dengan lebih sering menampilkan set interior. Ini sama mengecewakannya dengan ketika William bermain game Mario Bros menggunakan Nintendo, tak diperlihatkan rupa konsol legendaris itu, melainkan yang terlihat hanya tangan William saja yang asik memencet-mencet tombol joystick Playstation warna hitam. Padahal sebagai properti film, hingga kini konsol Nintendo masih mudah didapatkan, untuk menghadirkan nuansa era 90-an.

Musik dari Pangky Perks ('Malam Seribu Bulan') yang mengiringi film ini berada pada kategori musik KBA. Kalau Berhenti Alhamdulillah. Seringkali menjengkelkan, memekakkan telinga, dan terdengar lebih seperti scoring untuk film horor murahan ketimbang drama. Jadi, apa kesimpulannya? Di dunia yang lebih baik, atau mungkin di dunia paralel, bahkan di dunia yang hanya dihuni hamster sekalipun, film seperti ini hanya layak ditonton sebagai hiburan di televisi. Tentu saja bukan saluran televisi yang berbayar!

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads